JUAL BELI DAN HUKUM-HUKUMNYA
Perdagangan adalah jual beli dengan tujuan untuk mencari keuntungan. Penjualan merupakan transaksi paling kuat dalam dunia perniagaan bahkan secara umum adalah bagian yang terpenting dalam aktivitas usaha. Kalau asal dari jual beli adalah disyariatkan, sesungguhnya di antara bentuk jual beli ada juga yang diharamkan dan ada juga yang diperselisihkan hukumnya. Oleh sebab itu, menjadi satu kewajiban bagi seorang usahawan muslim untuk mengenal hal-hal yang menentukan sahnya usaha jual beli tersebut, dan mengenal mana yang halal dan mana yang haram dari kegiatan itu, sehingga ia betul-betul mengerti perso-alan. Dalam pembahasan ini penulis akan memaparkan beberapa persoalan yang berkaitan dengan masalah jual beli. Mari kita mengikuti pembahasan berikut ini:
Perdagangan adalah jual beli dengan tujuan untuk mencari keuntungan. Penjualan merupakan transaksi paling kuat dalam dunia perniagaan bahkan secara umum adalah bagian yang terpenting dalam aktivitas usaha. Kalau asal dari jual beli adalah disyariatkan, sesungguhnya di antara bentuk jual beli ada juga yang diharamkan dan ada juga yang diperselisihkan hukumnya. Oleh sebab itu, menjadi satu kewajiban bagi seorang usahawan muslim untuk mengenal hal-hal yang menentukan sahnya usaha jual beli tersebut, dan mengenal mana yang halal dan mana yang haram dari kegiatan itu, sehingga ia betul-betul mengerti perso-alan. Dalam pembahasan ini penulis akan memaparkan beberapa persoalan yang berkaitan dengan masalah jual beli. Mari kita mengikuti pembahasan berikut ini:
DEFINISI JUAL-BELI
Jual beli secara etimologis artinya:
Menukar harta dengan harta.(1) Secara terminologis artinya: Transaksi penukaran
selain dengan fasilitas dan kenikmatan. Sengaja diberi pengecualian “fasilitas”
dan “kenikmatan”, agar tidak termasuk di dalamnya pe-nyewaan dan menikah. (1) Jual
beli adalah dua kata yang saling berlawanan artinya, namun masing-masing sering
digunakan untuk arti kata yang lain secara bergantian. Oleh sebab itu,
masing-masing dalam akad transaksi disebut sebagai pembeli dan penjual.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Dua orang yang berjual beli
memiliki hak untuk menentukan pilihan, sebelum mereka berpindah dari lokasi
jual beli.” Akan tetapi bila disebutkan secara umum, yang terbetik dalam hak
adalah bahwa kata penjual diperuntukkan kepada orang yang mengeluarkan barang
dagangan. Sementara pembeli adalah orang yang mengeluarkan bayaran. Penjual
adalah yang mengeluarkan barang miliknya. Sementara pembeli adalah orang yang
menjadikan barang itu miliknya dengan kompensasi pembayaran.DISYARIATKANNYA
JUAL-BELI
Jual beli disyariatkan berdasarkan konsensus kaum mus-limin. Karena kehidupan umat menusia tidak bisa tegak tanpa adanya jual beli. Allah berfirman:“Dan Allah menghalalkan jual beli serta mengharamkan riba..” (Al-Baqarah: 275).
Jual beli disyariatkan berdasarkan konsensus kaum mus-limin. Karena kehidupan umat menusia tidak bisa tegak tanpa adanya jual beli. Allah berfirman:“Dan Allah menghalalkan jual beli serta mengharamkan riba..” (Al-Baqarah: 275).
KLASIFIKASI JUAL BELI
Jual beli diklasifikasikan dalam banyak pembagian dengan sudut pandang yang berbeda-beda. Kami akan menyebutkan sebagian di antara pembagian tersebut:1. Klasifikasi Jual Beli dari Sisi Objek Dagangan Ditinjau dari sisi ini jual beli dibagi menjadi tiga jenis: Pertama: Jual beli umum, yaitu menukar uang dengan barang. Kedua: Jual beli ash-sharf atau Money Changer, yakni penukaran uang dengan uang. Ketiga: Jual beli muqayadhah atau barter. Yakni menukar barang dengan barang.2. Klasifikasi Jual Beli dari Sisi Cara Standarisasi Harga
Jual beli diklasifikasikan dalam banyak pembagian dengan sudut pandang yang berbeda-beda. Kami akan menyebutkan sebagian di antara pembagian tersebut:1. Klasifikasi Jual Beli dari Sisi Objek Dagangan Ditinjau dari sisi ini jual beli dibagi menjadi tiga jenis: Pertama: Jual beli umum, yaitu menukar uang dengan barang. Kedua: Jual beli ash-sharf atau Money Changer, yakni penukaran uang dengan uang. Ketiga: Jual beli muqayadhah atau barter. Yakni menukar barang dengan barang.2. Klasifikasi Jual Beli dari Sisi Cara Standarisasi Harga
a) Jual beli Bargainal
(Tawar-menawar). Yakni jual beli di mana penjual tidak memberitahukan modal
barang yang dijualnya.
b). Jual beli amanah. Yakni jual beli
di mana penjual mem-beritahukan harga modal jualannya. Dengan dasar jual beli
ini, jenis jual beli tersebut terbagi lain menjadi tiga jenis lain:
* Jual beli murabahah. Yakni jual
beli dengan modal dan ke-untungan yang diketahui.
* Jual beli wadhi’ah. yakni jual
dengan harga di bawah modal dan jumlah kerugian yang diketahui.
* Jual beli tauliyah. Yakni jual
beli dengan menjual barang dalam harga modal, tanpa keuntungan dan kerugian.
Sebagian ahli fiqih menambahkan lagi
jenis jual beli yaitu jual beli isyrak dan mustarsal. Isyrak adalah menjual
sebagian barang dengan sebagian uang bayaran. Sedang jual beli mustarsal adalah
jual beli dengan harga pasar. Mustarsil adalah orang lugu yang tidak mengerti
harga dan tawar menawar.
c) Jual beli muzayadah (lelang).
Yakni jual beli dengan cara penjual menawarkan barang dagangannya, lalu para
pembeli saling menawar dengan menambah jumlah pembayaran dari pembeli
sebelumnya, lalu si penjual akan menjual dengan harga tertinggi dari para
pembeli tersebut.
Kebalikannya disebut dengan jual
beli munaqadhah (obral). Yakni si pembeli menawarkan diri untuk membeli barang
dengan kriteria tertentu, lalu para penjual berlomba menawarkan dagang-annya,
kemudian si pembeli akan membeli dengan harga ter-murah yang mereka tawarkan.
3. Pembagian Jual Beli Dilihat dari
Cara Pembayaran
Ditinjau dari sisi ini, jual beli
terbagi menjadi empat bagian:
* Jual beli dengan penyerahan barang
dan pembayaran secara langsung.
* Jual beli dengan pembayaran
tertunda.
* Jual beli dengan penyerahan barang
tertunda.
* Jual beli dengan penyerahan barang
dan pembayaran sama-sama tertunda.
SYARAT-SYARAT SAH JUAL BELI
Agar jual beli dapat dilaksanakan
secara sah dan memberi pengaruh yang tepat, harus direalisasikan beberapa
syaratnya terlebih dahulu. Ada yang berkaitan dengan pihak penjual dan pembeli,
dan ada kaitan dengan objek yang diperjual-belikan. Pertama: Yang berkaitan
dengan pihak-pihak pelaku, harus memiliki kompetensi dalam melakukan aktivitas
itu, yakni dengan kondisi yang sudah akil baligh serta berkemampuan memilih.
Tidak sah transaksi yang dilakukan anak kecil yang belum nalar, orang gila atau
orang yang dipaksa.
Kedua: Yang berkaitan dengan objek jual belinya, yakni sebagai berikut:a. Objek jual beli tersebut harus suci, bermanfaat, bisa dise-rahterimakan, dan merupakan milik penuh salah satu pihak.
Kedua: Yang berkaitan dengan objek jual belinya, yakni sebagai berikut:a. Objek jual beli tersebut harus suci, bermanfaat, bisa dise-rahterimakan, dan merupakan milik penuh salah satu pihak.
Tidak sah menjualbelikan barang
najis atau barang haram seperti darah, bangkai dan daging babi. Karena
benda-benda ter-sebut menurut syariat tidak dapat digunakan. Di antara bangkai
tidak ada yang dikecualikan selain ikan dan belalang. Dari jenis darah juga
tidak ada yang dikecualikan selain hati (lever) dan limpa, karena ada dalil
yang mengindikasikan demikian.
Juga tidak sah menjual barang yang
belum menjadi hak milik, karena ada dalil yang menunjukkan larangan terhadap
itu. Tidak ada pengecualian, melainkan dalam jual beli as-Salm. Yakni sejenis
jual beli dengan menjual barang yang digambarkan kri-terianya secara jelas
dalam kepemilikan, dibayar dimuka, yakni dibayar terlebih dahulu tetapi barang
diserahterimakan bela-kangan. Karena ada dalil yang menjelaskan disyariatkannya
jual beli ini.
Tidak sah juga menjual barang yang
tidak ada atau yang ber-ada di luar kemampuan penjual untuk menyerahkannya
seperti menjual Malaqih, Madhamin atau menjual ikan yang masih dalam air,
burung yang masih terbang di udara dan sejenisnya. Malaqih adalah anak yang
masih dalam tulang sulbi pejantan. Sementara madhamin adalah anak yang masih
dalam tulang dada hewan be-tina.
Adapun jual beli fudhuliy yakni
orang yang bukan pemilik barang juga bukan orang yang diberi kuasa, menjual
barang milik orang lain, padahal tidak ada pemberian surat kuasa dari pemilik
barang. Ada perbedaan pendapat tentang jual beli jenis ini. Na-mun yang benar
adalah tergantung izin dari pemilik barang.
b. Mengetahui objek yang
diperjualbelikan dan juga pemba-yarannya, agar tidak terkena faktor
“ketidaktahuan” yang bisa termasuk “menjual kucing dalam karung”, karena itu
dilarang.
c. Tidak memberikan batasan waktu.
Tidak sah menjual barang untuk jangka masa tertentu yang diketahui atau tidak
di-ketahui. Seperti orang yang menjual rumahnya kepada orang lain dengan syarat
apabila sudah dibayar, maka jual beli itu diba-talkan. Itu disebut dengan “jual
beli pelunasan”.
Nanti jenis jual beli akan dibahas
secara terpisah dengan rinci dalam pembahasan ini, insya Allah.
SEBAB-SEBAB DILARANGNYA JUAL BELI
Sebab-sebab Dilarang Jual Beli Bisa
Kembali Kepada Akad Jual Beli dan Bisa Kepada Hal Lain Larangan yang kembali
kepada akad dasarnya adalah tidak terpenuhinya persyaratan sahnya jual beli
sebagaimana telah disinggung sebelumnya. Dan dalam kesempatan ini kita ulangi
kembali pembahasannya yang berkaitan dengan objek jual beli-nya, dan ada juga
yang berkaitan dengan komitmen sebuah perjanjian/akad jual beli yang disepakati.Yang
berkaitan dengan objeknya adalah sebagai berikut:
§
Tidak terpenuhinya syarat adanya perjanjian. Yakni men-jual yang tidak ada,
seperti menjual anak binatang yang masih dalam tulang sulbi pejantannya atau
masih tulang dada induknya, menjual janin yang masih dalam perut induknya dan
sejenisnya.
§
Tidak terpenuhinya syarat nilai dan fungsi yang disyariatkan dari objek yang
diperjualbelikan, seperti menjual bangkai, daging babi dan benda-benda haram
lainnya, atau menjual barang-barang najis. Karena semua itu dianggap tidak
bernilai, meskipun sebagian orang menganggapnya bernilai karena tidak
memandangnya dengan hukum syariat.
§
Tidak terpenuhinya syarat kepemilikan objek jual beli oleh si penjual. Seperti
jual beli fudhuliy dengan menjual barang milik orang lain tanpa izinnya dan
tanpa surat kuasa darinya. Sehingga juga tidak sah menjual harta wakaf, masjid,
harta sedekah atau hibah sebelum diserahterimakan kepada penjual, atau menjual harta
rampasan perang sebelum dibagi-bagikan, dan sejenisnya.
Yang berkaitan dengan komitmen
terhadap akad jual belinya ada dua macam:
§
Karena jual beli yang mengandung riba.
§
Karena jual beli yang mengandung kecurangan.
Sementara sebab-sebab larangan yang
tidak kembali kepada akadnya atau terhadap komitmen perjanjian jual belinya,
namun berkaitan dengan hal-hal lain di luar kedua hal tersebut ada dua macam:Pertama:
Yang barometer larangannya itu kembali kepada terjadinya penyulitan dan sikap
merugikan, seperti seorang mus-lim yang menjual barang yang masih dalam proses
transaksi temannya, atau menjual senjata pada masa terjadinya konflik berdarah
antar sesama muslim, monopoli dan sejenisnya.Kedua: Yang barometer larangan
itu kembali kepada adanya pelanggaran syariat semata, seperti berjualan ketika
sudah diku-mandangkan adzan Jum’at, atau menjual mushaf al-Qur’an kepada orang
kafir, kalau menurut berat sangkaan orang kafir itu akan menghinakannya, dan
sejenisnya.Kemungkinan sebab paling kuat dan yang paling banyak tersebar dalam
realitas kehidupan modern sekarang ini, yang menyebabkan rusaknya perjanjian
jual beli adalah sebagai berikut:
§
Objek jual beli yang haram.
§
Riba.
§
Kecurangan.
§
Syarat-syarat rusak yang menggiring kepada riba, kecurangan atau kedua-duanya.
Akan penulis bahas sebab-sebab ini
secara rinci ketika kita membicarakan persoalan kode etik pengelolaan modal, di
tengah-tengah pambahasan ini, insya Allah.
JUAL BELI YANG DIHARAMKAN
1. Menjual tanggungan dengan
tanggungan Menjual tanggungan dengan tanggungan yakni menjual hutang dengan
hutang.Telah diriwayatkan larangan terhadap menjual tanggungan dengan
tanggungan dalam sunnah Nabi yang suci. Dalam hadits Ibnu Umar bahwa Nabi
shallallahu ‘alaihi wasallam melarang menjual tanggungan dengan tanggungan.
(Dikeluarkan oleh ath-Thahawi dalam Syarhul Ma’ani IV: 21, dan juga dalam
Musykilul Atsar nomor 795. Diriwayatkan oleh ad-Daruquthni III:71, juga oleh
al-Hakim II:57, dan oleh al-Baihaqi V: 290 dengan sanad yang lemah, karena
lemahnya Musa bin Ubaidah ar-Rubadzi. Al-Hafizh Ibnu Hajar menukil dalam
at-Talkhish III:26, dari Imam Ahmad: “Dalam masalah ini tidak ada hadits shahih.
Akan tetapi ijma’ kaum muslimin adalah bahwa menjual hutang dengan hutang tidak
boleh.” Sementara Imam ath-Thahawi menyatakan: “Ahlul hadits menafsirkan hadits
ini dengan riwayat Abu Musa bin Ubaidah, meskipun mengandung kekurangan dalam
sanadnya. Ini merupakan bab besar dalam ilmu fiqih.” Lihat Musykilul Atsar II:
266.)
Menjual hutang dengan hutang memiliki aplikasi yang bermacam-macam. Jenis yang disyariatkan terkadang sulit dibedakan dengan yang tidak disyariatkan. Tampaknya persoalan ini amat dibutuhkan sekali untuk dirinci. Penulis menegaskan:
Menjual hutang dengan hutang memiliki aplikasi yang bermacam-macam. Jenis yang disyariatkan terkadang sulit dibedakan dengan yang tidak disyariatkan. Tampaknya persoalan ini amat dibutuhkan sekali untuk dirinci. Penulis menegaskan:
Hutang yang dijual itu tidak lepas
dari keberadaannya seba-gai pembayaran yang ditangguhkan, barang dagangan
tertentu yang diserahkan secara tertunda, atau barang dagangan yang
di-gambarkan kriterianya dan akan diserahkan juga secara tertunda.
Masing-masing dari aplikasi itu memiliki hukum tersendiri. Berikut
penjelasannya:
Aplikasi Pertama: Menjual harga yang
ditangguhkan dengan pembayaran yang ditangguhkan juga.
Di antaranya adalah menggugurkan apa
yang ada pada tanggungan orang yang berhutang dengan jaminan nilai tertentu
yang pengambilannya ditangguhkan dari waktu pengguguran. Itu adalah bentuk yang
disebut ‘Silakan tangguhkan pembayaran hutangmu, tapi tambah jumlahnya’. Itu
merupakan bentuk riba yang paling jelas dan paling jelek sekali.
Contoh lain penukaran dua hutang
uang yang keduanya adalah ditangguhkan. Menurut semua ulama dalam masalah hukum
sharf bahwa kalau uang dijual dengan uang yang sama jenisnya, harus dipenuhi
dua syarat: Keduanya harus sama nilai-nya dan harus diserahterimakan secara
langsung. Namun bila dijual dengan jenis lain, hanya ada keharusan serahterima
secara langsung saja, ketidaksamaan nilai dibolehkan. Serahterima secara
langsung merupakan syarat sahnya jual beli Money Changer dalam segala kondisi.
Karena dalam aplikasi ini syarat tersebut tidak ada, maka jelas perjanjian ini
tidak diragukan lagi adalah batal.
Aplikasi Kedua: Menjual harga yang
ditangguhkan dengan Barang Dagangan Tertentu yang Juga Diserahterimakan Secara
Tertunda
Bentuk aplikasinya adalah bila
seseorang menjual piutang-nya kepada orang yang punya hutang dengan barang
dagangan tertentu (mobil misalnya) yang akan diterimanya secara tertunda. Cara
ini tentu saja mirip dengan kisah Nabi yang membeli unta dari Jabir, dan Jabir
meminta kepada Nabi untuk menyerahkan untanya itu di kota Al-Madinah. Dan
Rasulullah juga akan mem-bayarkan nanti bila sampai di Al-Madinah. Transaksi
itu terjadi pada salah satu perjalanan Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam .
Diriwayatkan oleh al-Bukhari dan Muslim dalam kitab al-Buyu’, bab: Ad-Dawab
nomor 2097. Diriwayatkan oleh Muslim dalam al-Musaqat, bab: Menjual Unta dan
Meminta Tetap Mengendarainya Sementara.
Aplikasi Ketiga: Menjual harga yang
ditangguhkan dengan Barang yang Digambarkan Kriterianya dan Diterima Secara
Ter-tunda
Bentuk aplikasinya adalah seseorang
memiliki piutang atas seseorang secara tertunda, lalu ia membeli dari orang
yang dihu-tanginya barang yang digambarkan kriterianya (sekarung beras
misalnya) dan diterima secara tertunda pula. Ini termasuk bentuk jual beli
as-Salm. Kalau orang yang berhutang rela untuk menye-gerakan pembayaran yang
menjadi tanggungannya, dan menjadi-kannya sebagai pembayaran pesanan itu, maka
ini boleh-boleh saja. Karena bentuk aplikasi ini sudah memenuhi persyaratan
jual beli as-salm yang termasuk di antara salah satu persyaratannya yang paling
mengikat adalah: disegerakannya pembayaran harga modal. Karena yang berada
dalam kepemilikan sama halnya dengan yang ada di tangan. Namun kalau orang yang
berhutang tidak mau kalau menyegerakan pembayaran hutangnya yang menjadi
tanggungannya dan dijadikannya sebagai pembayaran as-Salm, maka bentuk aplikasi
jual beli ini tidak sah, karena salah satu syarat jual beli as-Salm tidak
terpenuhi, yakni penyegeraan pem-bayaran modal barang.
Aplikasi Keempat: Menjual Barang
yang Digambarkan Kriterianya Secara Tertunda dengan Barang yang Digambarkan
Kriterianya Secara Tertunda Pula
Bentuk aplikatifnya adalah seseorang
menjual sejumlah mobil yang digambarkan kriterianya dan diserahkan secara
ter-tunda dengan sejumlah Freezer yang juga digambarkan kriterianya dan
diserahkan secara tertunda pula. Bentuk aplikasi jual beli ini ada dua
kemungkinan:
Dilaksanakan transaksinya seperti
jual beli as-Salm. Bila demikian, maka tidak boleh, karena salah satu dari
syarat jual beli As-Salm tidak terpenuhi, yakni pembayaran uang di muka.
Dilakukan akad dengan bentuk seperti
kontrak, dalam hal ini tampaknya tidak ada masalah bagi mereka yang berpendapat
bahwa kontrak adalah bentuk akad jual beli tersendiri, tidak ada persyaratan
harus ada pembayaran di muka dalam lokasi transaksi.
Mirip dengan bentuk aplikasi ini,
apa yang disebutkan Abu Ubaid ketika ia menggambarkan jual beli tanggungan
dengan tanggunan. Ia berkata: Gambarannya yaitu: seseorang menyerah-kan
beberapa dirham untuk membeli makanan yang diserahkan secara tertunda. Kalau
datang waktunya, orang yang harus menyerahkan makanan berkata: “Saya tidak
mempunyai makanan. Jual saja lagi makanan yang seharusnya kuberikan itu
kepadaku dengan pembayaran tertunda.” Yang demikian itu pembayaran tertunda
yang berbalik menjadi pembayaran tertunda lain. Kalau makanan itu sudah
diserahkan dan dijual kepada orang lain, baru uangnya diserahkan, bukanlah
termasuk menjual tanggungan de-ngan tanggungan.
3. Dua Perjanjian Dalam Satu
Transaksi Jual Beli
Membuat dua perjanjian dalam satu
transaksi jual beli merupakan hal yang dilarang dalam syariat. Diriwayatkan
adanya sejumlah dalil yang melarang perbuatan tersebut. Diriwayatkan oleh Ahmad
dan at-Tirmidzi dari hadits Abu Hurairah tentang larangan Rasulullah terhadap
hal tersebut.
Hadits Abu Hurairah, dari Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wasallam diriwayatkan bahwa beliau bersabda: “Barangsiapa
yang melakukan dua perjanjian jual beli dalam satu transaksi jual beli, maka
hendaknya ia mengambil yang paling sedikit, kalau tidak ia telah mengambil
riba.”
Diriwayatkan oleh Ahmad dalam
Musnadnya dari Hadits Ibnu Mas’ud bahwa ia menceritakan, “Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wasallam melarang adanya dua perjanjian dalam satu
transaksi.”
Dalam riwayat lain disebutkan,
“Tidaklah pantas melakukan dua perjanjian dalam satu transaksi.”
Para ulama berbeda pendapat tentang
arti dari dua per-janjian tersebut. Ada beberapa pendapat yang kita lampirkan
di bawah ini:
1. Artinya adalah jual beli dengan
dua harga, kontan dan kredit dengan harga lebih mahal. Tambahan harga dengan
men-jual barang secara tertunda pembayarannya namun lebih mahal dari harga
sekarang, diriwayatkan dari Zainal Abidin bahwa beliau menyatakan keharamannya.
Yakni keharaman menjual se-suatu lebih mahal dari harga sekarang dengan
pembayaran ter-tunda. Penafsiran semacam ini telah dibantah oleh mayoritas
ulama. Namun bentuk jual beli semacam ini, menurut pendapat yang benar dari dua
pendapat yang ada, adalah disyariatkan.
2. Penjualan dengan dua harga,
kontan dan kredit, dan harga kredit atau tertundanya lebih mahal, namun tidak
dijelaskan. Misalnya seorang penjual berkata, “Kalau kontan bisa sekian
har-ganya, dan kalau dibayar belakangan atau dibeli kredit bisa sekian.”
Kemudian kedua orang itu berpisah (dari majlis) dengan ketidak-jelasan, tanpa
menentukan salah satunya.
Alasan dilarangnya bentuk jual beli
ini ada dua hal :
Pertama: Ketidakjelasan dan
ketidakstabilan harga.
Kedua: Ada kemungkinan terjadinya
riba, karena yang demikian itu berarti ia memindahkan kepemilikan dengan
pembayaran satu dinar secara kontan dan dengan dua dinar bila dibayar secara
tertunda. Dan yang pasti menjadi miliknya adalah salah satu dari keduanya. Jadi
seolah-olah yang menjadi miliknya adalah satu dinar secara kontan, lalu ia
tangguhkan pembayarannya sehingga berubah menjadi dua dinar. Atau yang menjadi
kewajibannya adalah dua dinar secara tertunda, lalu ia segerakan pembayarannya
sehingga berubah menjadi satu dinar saja.
3. Menjual sesuatu dengan pembayaran
tertunda, kemudian membelinya kembali dengan pembayaran kontan dengan harga
lebih murah dari harga pertama. Jual beli ini disebut juga dengan jual beli
‘inah. Termasuk salah satu jenis jual beli yang menjadi fasilitator riba.
Karena tujuannya sebenarnya adalah meminjami uang dengan dibayar uang berikut
tambahan, sedangkan barang dagangan hanya dijadikan mediator semata untuk
melegali-sasikan bunga tersebut. Ibnul Qayyim menyatakan dalam Tahdzib
as-Sunan, “Arti hadits yang menyebutkan (diharamkannya) dua transaksi dalam
satu aktivitas jual beli adalah satu arti saja, tidak ada lagi pengertian
selain itu. Yaitu yang relevan dengan sabda Nabi yang melarang seseorang
menjual sesuatu dengan pemba-yaran tertunda, lalu membelinya lagi secara kontan
dengan harga lebih murah dari harga pertama. Ia hanya berhak mengambil harga
yang termurah dari keduanya, karena selebihnya adalah riba. Ia bisa mengambil
harga yang lebih besar, dan itu adalah riba. Atau mengambil harga yang
terendah, yakni harga pertama. Bisa juga artinya adalah menjual uang secara
kontan dengan pem-bayaran secara tertunda dengan jumlah lebih banyak. Yang
berhak ia ambil hanya uang yang menjadi modalnya saja. Mereka yang berpendapat
tentang haramnya jual beli ‘inah akan menyatakan bahwa jual beli itu selain
haram juga merusak, kalau betul-betul dilakukan. Dan kalau itu dilakukan dengan
kesepakatan, bukan karena faktor kebetulan, maka jual beli itu batal,
berdasarkan kesepakatan para ulama.
4. Arti dua perjanjian dalam satu
aktivitas jual beli adalah memberikan syarat sebuah perjanjian lain dalam satu
transaksi jual beli yang berlangsung. Misalnya si penjual mengatakan, “Saya
akan menjual rumah ini kepadamu dengan harga sekian dengan syarat engkau
menjual mobilmu kepadaku dengan harga sekian. Tak ada bedanya apakah ditentukan
harga dan barang yang dimaksud dalam perjanjian kedua ataupun tidak. Karena
kedua bentuk perjanjian itu tergabung dalam satu perjanjian jual beli, dan itu
dilarang. Perbuatan itu termasuk dalam larangan umum tentang melakukan dua
perjanjian dalam satu aktivitas jual beli.
Aplikasi jual beli semacam ini harus
dibedakan dengan menjual dua jenis barang dengan satu harga, seperti menjual
mobil dan rumah dengan harga satu juta dinar misalnya. Atau menjual satu barang
dengan mobil ditambah seribu dolar. Yang demikian itu tidak termasuk melakukan
dua perjanjian dalam satu aktivitas jual beli, dan bahkan ini boleh dengan
kesepakatan.
5. Memesan barang berjangka dengan
serah terima tertunda. Bila telah jatuh tempo, barang itu kembali dijual
kepadanya secara berjangka pula dengan harga lebih. Penjualan kedua ini
termasuk dalam jual beli pertama. Maka harus dikembalikan kepada yang paling
sedikit keuntungannya, yakni penjualan pertama. Jual beli semacam ini dilarang
menurut kesepakatan para ulama.
4. Menjual Barang Yang Masih Dalam
Proses Transaksi Dengan Orang Atau Menawar Barang yang Masih Di-tawar Orang
LainDi antara bentuk jual beli yang
dilarang yakni apabila sese-orang menjual sesuatu yang masih dalam proses
transaksi dengan orang lain, atau menawar barang yang masih ditawar orang lain.
Di antara bentuk aplikatif menjual
sesuatu dalam transaksi orang lain misalnya: Ada dua orang yang berjual beli
dan sepakat pada satu harga tertentu. Lalu datang penjual lain dan mena-warkan barangnya
kepada pembeli dengan harga lebih murah. Atau menawarkan kepada si pembeli
barang lain yang berkualitas lebih baik dengan harga sama atau bahkan lebih
murah. Tidak ada perbedaan pendapat di kalangan ulama bahwa itu adalah
per-buatan dosa bila aplikasinya demikian, karena dapat menyebab-kan
ketidaksenangan orang lain dan membahayakannya. Selain juga karena ada larangan
tegas terhadap perbuatan itu dari Sunnah Nabi yang shahih.
Bentuknya yang lain misalnya seperti
yang diriwayatkan oleh Ibnu Umar dari Sabda Rasulullah, “Tidak sah menjual
sesuatu dalam transaksi orang lain.” Diriwayatkan oleh al-Bukhari dan
Muslim. Dalam riwayat Muslim disebutkan, “Janganlah seseorang melakukan
transaksi penjualan dalam transaksi orang lain. Dan janganlah seseorang meminang
wanita yang masih dipinang oleh orang lain, kecuali bila mendapatkan izin dari
pelaku transaksi atau peminang pertama.”
Sementara dalam riwayat an-Nasai
disebutkan, “Janganlah seseorang menjual dalam transaksi orang lain, se-hingga
ia membelinya atau meninggalkan transaksi tersebut.”
Dengan alasan itulah mayoritas ulama
memilih pendapat haramnya bentuk-bentuk jual beli semacam itu, bahkan
meng-anggapnya sebagai kemaksiatan.
5. Menawar Barang yang Sedang
Ditawar Orang Lain
Adapun menawar barang yang masih
ditawar orang lain, yakni seperti dua pihak yang melakukan transaksi jual beli
lalu sama-sama sepakat pada satu harga tertentu, lalu datang pembeli lain yang
menawar barang yang menjadi objek transaksi mereka dengan harga lebih mahal,
atau dengan harga yang sama, hanya saja karena ia orang yang berkedudukan, maka
si penjual lebih cenderung menjual kepada orang itu, karena melihat kedudukan
orang kedua tersebut.
Kalau kedua orang itu saling tawar
menawar, lalu terlihat indikasi bahwa keduanya tidak bisa menyepakati satu
harga, tidak diharamkan untuk menawar barang transaksi mereka. Namun kalau
belum kelihatan apakah mereka telah memiliki kesepakatan harga atau tidak,
penawaran dari pihak pembeli lain untuk sementara ditahan. Demikian juga
menurut kalangan Hambaliyah, perlu dibuktikan terlebih dahulu adanya
kesepakatan mereka, agar se-mua pihak merasa senang. Namun menurut kalangan
Hanafiyah, hal itu tidak mengapa. Boleh-boleh saja melakukan penawaran dengan
harga lebih sekalipun, karena itu termasuk jual beli yang disebut lelang. Hal
itu tidak dilarang.
Dengan terbuktinya keharaman
bentuk-bentuk jual beli ter-sebut di atas, namun menurut para ulama jual beli
tersebut tetap sah, karena larangan itu kembali kepada hal di luar pengertian
transaksi dan berbagai komitmennya. Karena jual beli tersebut tetap tidak
kehilangan satupun dari rukun-rukunnya, atau salah satu dari syarat-syarat
sahnya. Larangan itu terhadap hal yang berkaitan dengan transaksi tetapi berada
di luar substansi tran-saksi tersebut dan komitmen-komitmennya. Itu termasuk
per-buatan yang mengganggu orang lain, namun tidak membatalkan transaksi
menurut mayoritas ulama.
Pelelangan
Dari larangan terhadap penawaran
barang yang masih dalam penawaran orang lain, dikecualikan sejenis jual beli
yang disebut pelelangan. Pelelangan itu boleh berdasarkan ijma/konsensus kaum
muslimin. Pelelangan adalah penawaran barang di tengah keramaian. Lalu para
pembeli saling menawar dengan harga tertinggi, sampai kepada batas harga
tertinggi yang ditawarkan, lalu terjadilah transaksi, dan si pembeli bisa
mengambil barang yang dijual.
Di antara dalil-dalil yang
menunjukkan bolehnya jual beli yang disebut pelelangan itu, yaitu:
Hadits Anas bin Malik -rodhiyallahu
‘anhu- yang menceritakan bahwa ada seorang lelaki dari kalangan Anshar yang
datang menemui Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam dan ia meminta sesuatu kepada
beliau. Beliau bertanya kepa-danya, “Apakah di rumahmu tidak ada sesuatu?”
Lelaki itu menja-wab, “Ada. Dua potong kain, yang satu dikenakan dan yang lain
untuk alas duduk, serta cangkir untuk meminum air.” Beliau berkata, “Kalau
begitu, bawalah kedua barang itu kepadaku.” Lelaki itu datang membawanya.
Rasulullah bertanya, “Siapa yang mau membeli barang ini?” Salah seorang
sahabat beliau menjawab, “Saya mau membelinya dengan satu dirham.” Beliau
bertanya lagi, “Ada yang mau membelinya dengan harga lebih mahal?” Beliau
menawar-kannya hingga dua atau tiga kali. Tiba-tiba salah seorang sahabat
beliau yang lain berkata, “Aku mau membelinya dengan harga dua dirham.” Maka
beliau memberikan kedua benda itu kepada-nya. Beliau mengambil uang dua dirham
itu dan memberikannya kepada lelaki dari Anshar tersebut. Beliau berkata, “Gunakanlah
yang satu dirham untuk membeli makanan dan berikan kepada keluargamu. Lalu
gunakan yang satu dirham lagi untuk membeli kapak, lalu bawa kapak itu ke
hadapanku.” Lelaki itu pun pergi dan kembali lagi dengan membawa sebilah kapak.
Nabi meng-gunakan kapak itu untuk membelah kayu dengan tangan beliau sendiri,
lalu beliau berkata, “Pergi dan carilah kayu bakar, lalu juallah. Jangan
perlihatkan dirimu selama lima belas hari.” Lelaki itupun pergi mencari kayu
bakar dan menjualnya. Ia pulang de-ngan membawa hasil sepuluh dirham. Uang itu
ia gunakan seba-gian untuk membeli pakaian dan sebagian lain untuk membeli
makanan. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,
“Ini lebih baik bagimu daripada kebiasaanmu meminta-minta itu akan menjadi bercak hitam di wajahmu pada hari Kiamat nanti. Meminta-minta itu hanya dibolehkan bagi tiga orang: orang yang terlilit kemiskinan, orang yang terlilit hutang dan orang yang menanggung diyat.” Diriwayatkan oleh Abu Daud 1641. Diriwayatkan oleh at-Tirmidzi 1218. Diriwayatkan oleh an-Nasai VII: 259. Diriwayatkan oleh Ahmad dalam Musnadnya III: 100, 114. Diriwayatkan oleh at-Tirmidzi, beliau berkata, “Hadits ini hasan.” Inilah yang menjadi amalan para ulama.
“Ini lebih baik bagimu daripada kebiasaanmu meminta-minta itu akan menjadi bercak hitam di wajahmu pada hari Kiamat nanti. Meminta-minta itu hanya dibolehkan bagi tiga orang: orang yang terlilit kemiskinan, orang yang terlilit hutang dan orang yang menanggung diyat.” Diriwayatkan oleh Abu Daud 1641. Diriwayatkan oleh at-Tirmidzi 1218. Diriwayatkan oleh an-Nasai VII: 259. Diriwayatkan oleh Ahmad dalam Musnadnya III: 100, 114. Diriwayatkan oleh at-Tirmidzi, beliau berkata, “Hadits ini hasan.” Inilah yang menjadi amalan para ulama.
Dan sesungguhnya kaum muslimin masih
melakukan muzaayadah ini di pasar-pasar mereka tanpa ada pengingkaran.
Dan sesungguhnya larangan itu hanya pada penawaran saat jual beli, sedangkan
muzayadah adalah di luar jual beli. Penjelasan Majelis Ulama Fiqih
Tentang Hukum Jual-beli Kredit
Pembolehan jual beli dengan
pembayaran tertunda dengan tambahan harga yang telah kami paparkan sebelumnya,
demikian juga tidak bolehnya memberikan sanksi denda bila terjadi
keter-lambatan, adalah pendapat yang dipilih oleh Majelis Ulama Fiqih yang ikut
dalam Organisasi Muktamar Islam. Dalam muktamar-nya yang keenam di Jeddah pada
bulan Sya’ban tahun 1410 H. ditetapkan sebagai berikut:
“Dibolehkannya tambahan harga kredit
dari harga kontan. Juga dibolehkan menyebutkan harga kontan dengan harga
kreditnya disertai dengan waktu-waktu penyicilannya. Jual beli dianggap tidak
sah sebelum kedua transaktornya menegaskan mana yang mereka pilih, kontan atau
kredit. Kalau jual beli itu dilakukan dengan keragu-raguan antara kontan dengan
kredit, misalnya belum terjadi kesepakatan antara kedua belah pihak, maka jual
beli itu tidak sah secara syar’i.
Menurut ajaran syariat, ketika
terjadi proses jual beli ini tidak boleh menegaskan keuntungan kredit secara
rinci secara terpisah dari harga kontan, sehingga ada keterikatan dengan jangka
waktu. Baik kedua pelaku jual beli itu menyepakati prosentase keuntungan
tertentu, atau tergantung dengan jumlah penam-bahan waktu saja.Kalau pembeli sekaligus orang yang
berhutang terlambat membayar cicilannya sesuai dengan waktu yang ditentukan,
tidak boleh memaksa dia membayar tambahan lain dari jumlah hutang-nya, dengan
persyaratan yang disebut dalam akadnya ataupun tidak. Karena itu adalah bentuk
riba yang diharamkan.
Orang yang berhutang padahal mampu
membayar tidak boleh dia memperlambat pembayaran hutangnya yang sudah tiba waktu
cicilannya. Meski demikian, juga tidak boleh memberi per-syaratan adanya
kompensasi atau sanksi denda bila terjadi keter-lambatan pembayaran.
Menurut syariat dibolehkan seorang
penjual meminta pe-nyegeraan pembayaran cicilan dari waktu yang ditentukan, ketika
orang yang berhutang pernah terlambat dalam membayar cicilan sebelumnya, selama
orang yang berhutang itu rela dengan syarat tersebut ketika terjadi transaksi.
Penjual tidak boleh menyimpan barang
milik pembeli sete-lah terjadi proses jual beli kredit ini. Namun ia bisa
meminta syarat untuk sementara barang itu digadaikan di tempatnya seba-gai
jaminan hingga ia melunasi hutang cicilannya.
Kedua : Jual Beli ‘Inah‘Inah secara bahasa artinya adalah pinjaman. Dikatakan mi-salnya:
si Fulan melakukan ‘ain, yakni membeli sesuatu dengan pembayaran tertunda atau
berhutang. Atau menjual barang dengan pembayaran tertunda, lalu membelinya lagi
dengan harga lebih murah dari harga penjualan. Jual beli ini disebut‘inah
karena si pemilik barang bukan menginginkan menjual barang, tetapi yang
diinginkannya adalah ‘ain (uang). Atau karena si penjual kembali memiliki ‘ain
(benda) yang dia jual.
Menurut terminologi ilmu fiqih
artinya: Jual beli manipulatif untuk digunakan alasan peminjaman uang yang
dibayar lebih dari jumlahnya. Yakni dengan cara menjual barang dengan
pem-bayaran tertunda, lalu membelinya kembali secara kontan dengan harga lebih
murah.
Hukum Jual Beli ‘Inah
Para ulama sependapat bahwa jual
beli ‘inah ini diharamkan bila terjadi melalui kesepakatan dan persetujuan
bersama dalam perjanjian pertama untuk memasukkan perjanjian kedua ke dalamnya.
Namun para ulama berbeda pendapat
bila tidak terjadi kesepakatan sebelumnya. Di sini ada dua pendapat:
Pendapat pertama:Haram. Ini adalah pendapat mayoritas ulama
dari kalangan Hanafiyah, Malikiyah dan Hambaliyah. Di antara dalil-dalil mereka
dalam menetapkan keharamannya yaitu:
Riwayat Atha dari Ibnu Umar
-rodhiyallahu ‘anhu- bahwa ia menceritakan, “Aku pernah mendengar Rasulullah shallallahu
‘alaihi wasallam bersabda:
“Kalau manusia sudah menjadi kikir gara-gara uang (dinar dan dirham), sudah mulai melakukan jual beli ‘inah, mengikuti ekor-ekor sapi dan meninggalkan jihad fi sabilillah, pasti Allah akan menurunkan bencana kepada mereka, dan bencana itu tidak akan dihilangkan sebelum mereka kembali kepada agama mereka.” (HR. Ahmad dalam Musnadnya). (Diriwayatkan oleh Abu Daud 3456. Diriwayatkan oleh al-Baihaqi V: 325. Namun dalam sanadnya terdapat Atha al-Khurasani ia perawi yang lemah. Ia meriwayatkan dari Ishaq bin Usaid al-Khurasani, yang juga tidak diketahui identitasnya. Demikian dinyatakan oleh Abu Ahmad dan al-Hakim. Diriwayatkan oleh Abu Bakar bin Iyyasy, dari al-A’masy. Dikeluarkan oleh Ahmad (4875 cet. Syakir) Ibnu Iyyasy ini juga lemah, ia menjadikan riwayat ini dari Atha bin Abi Rabbah. Lihat Sunan al-Baihaqi V: 316 dan juga Nashbur Raayah IV: 16 dan juga asy-Syarhul Kabir terhadap al-Muqni’ IV: 54.)
Indikasi hadits terhadap haramnya
jual beli ini amat jelas. Karena berjual beli dengan sistem ‘inah
merupakan salah satu sebab turunnya bencana. Alasan dengan hadits ini dapat
dibantah dari dua sisi:
Sisi pertama: Dari sisi sanad. Karena dalam sanad hadits itu terdapat
Ishaq bin Usaid al-Khurasani yang haditsnya tidak dapat dijadikan hujjah. Dalam
sanad hadits itu juga terdapat Atha al-Khurasani. Ia juga masih diragukan.
Sisi kedua: Dari sisi indikasinya terhadap keharaman jual beli ‘inah.
Karena jual beli ‘inah dalam hadits itu diseiringkan dengan berbagai hal lain
yang tidak diharamkan, seperti membajak de-ngan sapi dan sibuk bercocok tanam.
Jelas sekali bahwa bantahan ini
lemah sekali. Karena hadits ini menggabungkan beberapa hal yang berbeda dalam
satu alur pembicaraan, padahal hukum masing-masing dari semua hal tersebut
berbeda-beda tergantung dengan niat dan tujuan. Seperti sabda Nabi shallallahu
‘alaihi wasallam :
“Hasil profesi tukang bekam adalah busuk. Hasil upah seorang dukun adalah busuk. Upah bagi seorang pelacur adalah busuk.( Diriwayatkan oleh Muslim dalam kitab al-Musaqat bab: Diharamkannya Menjual Anjing, nomor 1568.)
“Hasil profesi tukang bekam adalah busuk. Hasil upah seorang dukun adalah busuk. Upah bagi seorang pelacur adalah busuk.( Diriwayatkan oleh Muslim dalam kitab al-Musaqat bab: Diharamkannya Menjual Anjing, nomor 1568.)
“Padahal upah kerja seorang pembekam
tidaklah haram. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam sendiri pernah
berbekam dan memberikan upah kepada si tukang bekam.” ( Diriwayatkan oleh Ibnu
Hibban dalam Shahihnya 5151. Diriwayatkan oleh Ibnu Majah 2164, dan sanadnya
shahih. Lihat Tahdzibus Sunan V: 101)
Diriwayatkan oleh Imam ad-Daruquthni
dan al-Baihaqi dari Abu Ishaq, dari istrinya Aliyyah bahwa ia pernah menemui
Aisyah radhiyallah ‘anha bersama dengan Ummu Walad Zaid bin Arqam serta
seorang wanita lain. Ummu Walad Zaid berkata, “Aku pernah menjual budak kepada
Zaid seharga delapan ratus dirham dengan pembayaran tertunda. Dan aku
membelinya kembali seharga enam ratus dirham kontan.” Aisyah berkata, “Sungguh
tidak bagus cara engkau berjualan dan cara engkau membeli. Katakan kepada Zaid,
bahwa ia telah membatalkan pahala jihad dan hajinya bersama Rasulullah, kecuali
kalau ia bertaubat!” Wanita itu berkata, “Bagai-mana kalau yang kuambil hanya
modalku saja?” Aisyah menjawab, “Allah berfirman:
“Orang-orang yang telah sampai kepadanya larangan dari Rabb-nya, lalu terus berhenti (dari mengambil riba), maka baginya apa yang telah diambilnya dahulu (sebelum datang larangan).” (Al-Baqarah: 275).
“Orang-orang yang telah sampai kepadanya larangan dari Rabb-nya, lalu terus berhenti (dari mengambil riba), maka baginya apa yang telah diambilnya dahulu (sebelum datang larangan).” (Al-Baqarah: 275).
Indikasi hadits tersebut terhadap
keharaman jual beli ter-sebut jelas sekali. Bahkan Aisyah menganggap perbuatan
itu dapat membatalkan pahala haji dan jihad, kecuali kalau pelaku-nya
bertaubat.
Namun alasan dengan dalil ini juga
dapat dibantah dari dua sisi pula:
Pertama: Dari sisi sanad hadits. Istri Abu Ihshaq di sini tidak diketahui identitasnya, dan dia juga belum pernah mendengar hadits dari Aisyah. Namun ia mendengarnya dari istri Abu as-Safar, dan dia lebih tidak dikenal lagi identitasnya.
Pertama: Dari sisi sanad hadits. Istri Abu Ihshaq di sini tidak diketahui identitasnya, dan dia juga belum pernah mendengar hadits dari Aisyah. Namun ia mendengarnya dari istri Abu as-Safar, dan dia lebih tidak dikenal lagi identitasnya.
Kedua: Dari sisi indikasi hadits. Karena mustahil bila Aisyah
sampai menetapkan batalnya pahala jihad seorang sahabat besar karena satu
perkara yang paling banter beliau hanya bisa dihu-kum sebagai seorang mujtahid
yang keliru. Beliau berhak menda-patkan satu pahala, bukan sebaliknya malah
divonis telah batal pahala haji dan jihadnya! Bagaimana tidak? Beliau adalah
salah seorang yang turut melakukan baiat di bawah pohon ar-Ridhwan. Keridhaan
Allah terhadap para pelakunya tercatat dalam ayat Al-Qur’an yang dibaca oleh
umat manusia sepanjang masa?
Kemudian alasan mereka yang lain
adalah beberapa riwayat daripada sahabat tentang haramnya jual beli ini.
Diriwayatkan dari Ibnu Abbas y bahwa
ia pernah ditanya tentang seorang lelaki yang menjual sehelai sutera kepada
orang lain seharga seratus dirham. Kemudian ia membelinya kembali seharga lima
puluh dirham saja secara kontan. Ibnu Abbas men-jawab, “Itu artinya menjual
dirham dengan dirham secara berbu-nga, namun mediatornya adalah sehelai
sutera.”
Di antaranya lagi riwayat dari Anas
bin Malik ketika ditanya tentang jual beli ‘inah –yakni dengan sutera
sebagai mediatornya-, beliau menjawab, “Sesungguhnya Allah tidak mungkin
dikelabui. Itu termasuk perbuatan yang diharamkan oleh Allah dan Rasul-Nya.”
Apabila seorang sahabat Nabi mengatakan, “Diharamkan oleh Allah dan RasulNya,”
demikian juga bila ia mengatakan, “..diperintahkan oleh Allah dan RasulNya,”
maka hukumnya seperti hadits marfu’, yakni yang berasal dari Nabi shallallahu
‘alaihi wasallam langsung.
Namun alasan dengan riwayat-riwayat
itu juga masih bisa dibantah, yakni bahwa semua riwayat tersebut bertentangan
dengan riwayat-riwayat lain yang menetapkan bolehnya jual beli tersebut. Maka
pendapat para sahabat yang melarangnya itu bisa ditafsirkan, bila jual beli itu
dilakukan dengan kesepakatan, bukan secara kebetulan.
Pendapat kedua: Boleh. Ini adalah
pendapat asy-Syafi’i, Abu Yusuf dan azh-Zhahiriyah. Di antara dalil-dalil
mereka misalnya:
Keumuman nash atau dalil-dalil tegas
tentang halalnya jual beli. Jual beli ‘inah adalah salah satu dari bentuk jual
beli. Tidak akan keluar dari asal hukum jual beli, kecuali dengan dalil.
Namun pendapat ini bisa dibantah,
bahwa semua dalil-dalil umum tersebut telah dikhususkan oleh berbagai dalil
lain yang dijadikan alasan oleh para ulama yang melarangnya.
Yang bisa kita simpulkan setelah
memaparkan beberapa pendapat tersebut, bahwa yang benar jual beli semacam itu
dilarang, untuk menutup jalan menuju riba dan memutus jalan bagi orang-orang
yang suka membuat penyamaran terhadap bentuk usaha yang haram, agar tujuan
mereka tidak tercapai.
Ketiga: Jual Beli Wafa
Yakni jual beli dengan persyaratan
saling mengembalikan hak pihak lain. Yakni kapan penjual mengembalikan uang si
pembeli, si pembeli juga akan mengembalikan barang si penjual. Disebut sebagai
jual beli wafa (pelunasan), karena ada semacam perjanjian dari pembeli untuk
melunasi hak si penjual, yakni me-ngembalikan barangnya, kalau si pembeli
mengembalikan uang bayarannya.
Selayang Pandang Sejarah Jual Beli Wafa
Bentuk jual beli ini terjadi pertama
kali di Bukhara dan Balkh pada awal abad ke lima hijriyah. Yang menjadi
pemicunya adalah karena kebanyakan orang yang berharta tidak mau meminjamkan
uangnya secara baik, sementara mereka merasa berat melakukan riba, di sisi lain
orang banyak amat membutuhkan harta. Oleh sebab itu, mereka mencari jalan
keluar yang mereka anggap dapat merealisasikan kemaslahatan kedua belah pihak.
Manfaat bagi penjual karena bisa
mendapatkan uang yang dia inginkan tanpa harus dengan terpaksa menjual barang
mati yang bisa jadi dia niatkan secara keras agar tidak keluar dari
kepemilikannya.
Manfaat bagi pembeli sehingga dapat
mengembangkan har-tanya, jauh dari lingkaran perbuatan riba yang
terang-terangan.
Proses Transaksi Jual Beli Wafa
Jelas bahwa transaksi semacam itu
mengandung improvisasi berbagai macam hukum jual beli dan berbagai hukum
pegadaian.
Dalam jual beli itu terdapat
hukum-hukum jual beli, misal-nya si pembeli boleh memanfaatkan barang
dagangannya penggu-naan dan pemanfaatan yang benar. Ia bisa menggunakannya
untuk diri sendiri dan memanfaatkannya untuk disewakan tanpa izin si penjual.
Jual beli itu juga mengandung
hukum-hukum pegadaian, se-perti tidak adanya hak pembeli untuk mengkonsumsi
barang dagangan atau memindahkan kepemilikannya kepada orang lain. Barang itu
juga tidak bisa dipakai untuk syuf’ah, dan biaya pera-watannya atas penjual di
samping pembeli juga harus menjaga komitmen untuk mengembalikan barang itu bila
si penjual telah mengembalikan uang pembayarannya.
Jual Beli dan Hukum-hukumnya
Jual beli adalah menukar harta
dengan harta. Menurut ter-minologi ilmu fiqih, artinya: Bentuk usaha penukaran
terhadap yang bukan fasilitas atau kenikmatan. Asal dari jual beli adalah
mubah, kecuali bila ada dalil yang mengharamkannya.
Jual beli diklasifikasikan dalam banyak macam, melalui su-dut pandang yang berbeda-beda.Dilihat dari jenis barang yang dijadikan perjanjian, jual beli terbagi menjadi beberapa macam: Jual beli bebas, yakni menukar barang dengan uang. Money Changer, yakni menukar uang de-ngan uang. Serta barter, yakni menukar barang dengan barang.
Jual beli diklasifikasikan dalam banyak macam, melalui su-dut pandang yang berbeda-beda.Dilihat dari jenis barang yang dijadikan perjanjian, jual beli terbagi menjadi beberapa macam: Jual beli bebas, yakni menukar barang dengan uang. Money Changer, yakni menukar uang de-ngan uang. Serta barter, yakni menukar barang dengan barang.
Dilihat dari sisi cara penetapan
harga, jual beli dibagi menja-di beberapa macam pula: Pertama, jual beli tawar
menawar. Yakni jual beli, yang penjualnya tidak memberitahu harga modal
ba-rangnya. Kedua, jual beli amanah. Yakni jual beli, yang penjual-nya menyebutkan
harga modal barangnya yang dengan cara itu harga bisa ditetapkan. Ketiga, jual
beli lelang. Yakni menjual barang kepada yang memberikan harga tertinggi.
Dilihat dari cara pembayaran, jual
beli terbagi menjadi bebe-rapa macam pula: Jual beli dengan penyerahan barang
langsung dan pembayaran kontan, disebut jual beli kontan. Lalu jual beli dengan
pembayaran dan penyerahan barang tertunda, disebut jual beli hutang dengan
hutang. Jual beli dengan pembayaran tertunda, disebut jual beli nasi’ah. Serta
jual beli dengan penye-rahan barang tertunda, disebut jual beli as-Salm.
Jual beli memiliki beberapa
persyaratan yang harus selu-ruhnya dipenuhi agar akad jual belinya menjadi sah.
Di antara syarat-syarat tersebut ada yang berkaitan dengan pihak-pihak yang
terlibat, yakni kompetensi dalam melakukan aktivitas. Ada yang berkaitan dengan
barang yang dijual belikan, yakni mengetahui jenis barang jualan dan mengetahui
harganya, serta keberadaan barang tersebut yang harus suci, bermanfaat dan bisa
diserah-terimakan, serta merupakan milik si penjual ketika terjadi akad,
kemudian tidak ada pembatasan waktu.
Jual beli borongan juga
diperbolehkan, yakni jual beli barang yang biasa ditakar, ditimbang atau
dihitung secara borongan tanpa ditimbang, ditakar atau dihitung lagi, namun
sesuai dengan beberapa syarat yang dijelaskan secara rinci oleh kalangan
Mali-kiyah.
Namun menjual komoditi riba fadhal
(enam jenis) dengan yang sejenisnya dengan cara borongan tidak diperbolehkan,
ka-rena adanya syarat kesamaan ukuran atau takaran dalam barter barang komoditi
riba fadhal. Sementara kaidah dalam jual beli komoditi riba fadhal
itu adalah: Ketidaktahuan akan kesamaan sama hukumnya dengan mengetahui
ketidaksamaan.
Sebab-sebab dilarangnya jual beli
ada dua macam: sebab-sebab perjanjiannya dan yang bukan dari perjanjiannya.
Sebab-sebab karena perjanjian di
antaranya ada yang ber-kaitan dengan substansi perjanjiannya, seperti tidak
terpenuhinya syarat adanya barang yang dijual belikan atau adanya nilai barang
tersebut, atau hak kepemilikan penjual terhadap barang itu. Ada juga yang
berkaitan dengan komitmen akadnya, karena mengan-dung riba atau manipulasi.
Sementara sebab-sebab yang bukan
dari akad jual beli yang dilakukan di antaranya adalah kembali kepada bentuk
memper-sulit orang lain, mengganggu atau melakukan penipuan.
Adapun sebab-sebab kerusakan akad
jual beli ini ada empat: Diharamkannya barang yang diperjualbelikan, riba,
manipulasi dan syarat-syarat yang rusak yang menggiring kepada perbuatan riba,
manipulasi atau bahkan kedua-duanya.
Jual Beli yang Diharamkan
Menjual Tanggungan dengan Tanggungan
Tidak dibolehkan menjual tanggungan
dengan tanggungan, yakni hutang dengan hutang. Bentuk aplikatifnya ada beberapa
macam:
§
Menjual pembayaran tertunda dengan pembayaran tertunda. Yakni aplikasi dari
satu jenis jual beli “Tangguhkan saja pemba-yaran hutangku kepadamu, nanti akan
kutambahkan.” Dan ini adalah bentuk riba yang paling jelas.
§
Menjual pembayaran tertunda dengan barang dagangan tertentu yang juga tertunda
penyerahannya. Aplikasinya adalah bahwa seseorang menjual kepada orang yang
berhutang kepada-nya sebuah barang tertentu yang belum diserahkan dalam sebuah
ikatan perjanjian jual beli. Jual beli semacam ini tidak menjadi masalah,
karena mirip dengan kisah Nabi yang membeli unta kepada Jabir, lalu Jabir
memberi syarat untuk menyerahkan untanya itu di kota Madinah, dan penyerahan
bayarannya juga di kota Madinah.
§
Menjual pembayaran tertunda dengan barang yang dijelas-kan kriterianya namun
juga diserahkan secara tertunda dalam sebuah akad jual beli. Bentuk
aplikasinya, bahwa seseorang mem-beri hutang kepada orang lain. Lalu ia membeli
barang dari orang yang berhutang kepadanya itu, yang dijelaskan kriterianya namun
diserahkan secara tertunda. Apabila orang yang berhutang itu ingin disegerakan
pelunasan hutangnya agar bisa menjadi uang muka untuk membeli barangnya, tidak
apa-apa. Tetapi kalau tidak, jual beli tidak berlaku karena tidak terpenuhinya
syarat didahulukannya pembayaran harga modal.
§
Menjual barang yang disebutkan kriterianya dan diserahkan tertunda, dengan
barang yang juga disebutkan kriterianya dan diserahkan tertunda juga. Kalau
dilakukan seperti jual beli as-Salm maka itu tidak disyariatkan, karena tidak
terpenuhinya syarat pembayaran di muka harga modal. Namun kalau dalam bentuk
istishna’, tidak menjadi masalah, menurut para ulama yang menja-dikan pemesanan
itu sebagai bentuk perjanjian jual beli tersendiri.
Jual Beli dengan PersyaratanTidak
boleh jual beli dengan syarat. Para ulama berbeda pendapat dalam menjelaskan
aplikasi bentuk jual beli ini.Kalangan Malikiyah berpendapat bahwa jual beli
bersyarat ini adalah jual beli dengan syarat yang bertentangan dengan
konsekuensi akad jual beli. Seperti syarat agar tidak menjual lagi barangnya
atau tidak menggunakannya. Atau yang menyebabkan rusaknya harga, seperti syarat
peminjaman dari salah satu pihak yang terlibat.Sementara kalangan Hambaliyah
memahami jual beli ber-syarat itu sebagai jual beli yang bertentangan dengan
akad –telah dicontohkan sebelumnya– dan bertentangan dengan konsekuensi ajaran
syariat. Seperti mempersyaratkan adanya bentuk usaha lain, baik itu jual beli
lain atau peminjaman, karena ada larangan terhadap dua perjanjian dalam satu
transaksi jual beli. Atau persyaratan yang membuat jual beli tergantung,
seperti menga-takan: “Saya jual ini kepadamu, kalau si Fulan ridha.”
Sementara kalangan Hanafiyah
memahami jual bersyarat sebagai jual beli yang menetapkan syarat yang tidak
termasuk dalam konsekuensi perjanjian jual beli, dan tidak relevan dengan
perjanjian tersebut namun bermanfaat bagi salah satu pihak yang terlibat.
Seperti menjual rumah dengan syarat untuk dibangun masjid di atasnya. Atau
bermanfaat bagi objek perjanjian, seperti menjual seorang budak wanita dengan
syarat memerdekakannya.
Syarat manfaat yang dinyatakan oleh
kalangan Hanafiyah di atas masih harus diteliti lagi, berdasarkan hadits Jabir
yang men-jual untanya kepada Nabi lalu memberikan persyaratan untuk
memanfaatkannya hingga sampai ke kota Madinah.
Dua Perjanjian dalam Satu Transaksi
Jual Beli
Tidak boleh melakukan dua perjanjian
dalam satu transaksi jual beli, namun masih diperdebatkan bentuk aplikasinya.
Dalam hal ini ada beberapa pendapat:
Jual beli dengan dua harga; harga
kontan dengan harga kredit yang lebih mahal. Larangan terhadap jual beli ini
masih perlu diselidiki. Bahkan larangan itu tertolak oleh berbagai dalil umum
dan juga ketetapan berbagai Majelis Ulama.
Jual beli ‘inah. Yakni
menjual sesuatu dengan pembayaran tertunda, lalu membelinya kembali dengan
pembayaran kontan yang lebih murah dari harga pertama.
Mensyaratkan Transaksi Lain Dalam
Perjanjian Jual Beli
Menjual barang dengan penyerahan
tertunda. Bila telah datang waktu penyerahan barang, dijual lagi barang itu
secara tertunda pula dengan harga lebih mahal. Dalam kondisi demikian, ia harus
mengambil harga terendah, yakni harga pertama.
Menjual dalam Proses Transaksi
dengan Orang Lain dan Menawar Barang yang Masih Ditawar Orang Lain
Yakni apabila itu dilakukan sebelum
selesainya transaksi se-belumnya dan tanpa izin dari penjual pertama. Dan dalam
masa-lah tawar menawar yang dilarang ini, dikecualikan yang terjadi dalam jual
beli pelelangan, karena ada nash yang membo-lehkannya.
Orang Kota Menjualkan Barang Orang
Dusun’
Orang kota tidak boleh menjualkan
barang orang dusun, dalam arti menjadi brokernya/calo, karena dapat
membahayakan para penduduk kota dan menyulitkan mereka.
Dilarangnya orang kota menjualkan
barang orang dusun ini tentu saja ada syarat-syaratnya: Kebutuhan umumnya
masyarakat kepada barang transaksi yang ditawarkan oleh orang dusun tersebut.
Ketidaktahuan pedagang dusun itu akan harga barang. Niat pedagang dusun itu
untuk menjual barangnya secara lang-sung dengan harga sekarang, meningkatnya
harga barang ter-sebut secara bertahap dari harga wajar, dan keberadaan
pedagang dusun itu yang mengambil barang untuk dijual, bukan untuk disimpan
sendiri.
Menjual Anjing
Tidak boleh menjual anjing
berdasarkan hadits-hadits shahih yang melarangnya. Masih diperselisihkan anjing
yang diizinkan seperti anjing penjaga kebun atau anjing buru. Kalangan
Malikiyah membolehkannya, namun kalangan madzhab lain melarangnya.
Menjual Alat-alat Musik dan Hiburan
Mayoritas ahli fiqih mengharamkan
menjual alat-alat musik dan alat-alat hiburan yang diharamkan. Namun bila ada
dalil yang memberi keringanan pada jenis alat tertentu seperti rebana, tidak
apa-apa.
Jual Beli Saat Adzan Jum’at
Berkumandang
Diharamkan jual beli saat adzan
Jum’at berkumandang karena ada dalil yang secara tegas melarangnya. Adzan yang
dimaksud di sini adalah adzan ketika khatib berada di atas mimbar. Tran-saksi
usaha selain jual beli bisa diqiyaskan dengannya menurut mayoritas ulama.
Parameter diharamkannya jual beli ini adalah bahwa orang yang melakukan
transaksi adalah orang yang wajib shalat Jum’at, hendaknya ia sudah mengetahui
larangan itu serta tidak dalam kondisi darurat untuk melakukannya.
Kalau ada dua orang yang tidak wajib
shalat Jum’at mela-kukan transaksi saat adzan berkumandang maka ini tidak
apa-apa. Namun kalau salah satunya wajib shalat Jum’at, maka kedua-nya berdosa.
Yang satu karena telah melakukan perbuatan terla-rang, sementara yang lain
karena menolong orang lain berbuat dosa.
Beberapa Jual Beli yang Masih Diperdebatkan
Penjualan Kredit dengan Harga Lebih
Mahal
Dibolehkan memberikan tambahan harga
pada harga ter-tunda dari harga kontan, menurut pendapat yang paling benar dari
dua pendapat para ulama yang ada. Namun jual beli itu hanya sah bila kedua
pihak menegaskan mana di antara bentuk penjualan yang dipilih.
Jual Beli ‘Inah
Yakni sejenis jual beli manipulatif
agar pinjaman uang diba-yar dengan lebih banyak. Jual beli semacam ini tidak
disyariatkan menurut mayoritas ulama demi mencegah terjadinya riba. Namun Imam
asy-Syafi’i membolehkannya kalau itu terjadi tanpa dise-pakati sebelumnya.
Jual Beli Wafa
Yakni jual beli dengan syarat
pengembalian barang dan pembayaran, ketika si penjual mengembalikan uang
bayaran dan si pembeli mengembalikan barang. Jual beli ini tidak dibolehkan
menurut pendapat para ulama yang paling benar. Karena tujuan sebenarnya dari
jual beli ini adalah riba. Yakni dengan cara mem-berikan uang untuk dibayar
secara tertunda, dan fasilitas barang itu dijadikan sebagai keuntungan alias
bunganya.
Jual Beli Berpanjar
Yakni membeli barang dengan
membayarkan sejumlah uang muka kepada penjual dengan perjanjian bila ia jadi
membelinya, uang itu dimasukkan ke dalam harganya. Namun bila tidak jadi, uang
itu menjadi milik penjual.
Jual beli semacam ini boleh menurut
pendapat para ulama yang paling benar, kalau diberi batasan waktu menunggu
secara tegas dan uang itu akan menjadi bagian dari harga bila jual beli telah
dilaksanakan, serta menjadi hak penjual kalau si pembeli tidak jadi membeli
barangnya.
Jual Beli Istijrar
Yakni mengambil kebutuhan dari
penjual sedikit demi sedikit, kemudian baru selang beberapa waktu membayarnya.
Jual beli ini tidak apa-apa menurut pendapat ulama yang paling benar. Bahkan
bisa jadi akan lebih menyenangkan pembeli dari-pada jual beli dengan tawar
menawar.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar