Minggu, 28 Desember 2014

JUAL BELI DAN HUKUM-HUKUMNYA




                   JUAL BELI DAN HUKUM-HUKUMNYA

       Perdagangan adalah jual beli dengan tujuan untuk mencari keuntungan. Penjualan merupakan transaksi paling kuat dalam dunia perniagaan bahkan secara umum adalah bagian yang terpenting dalam aktivitas usaha. Kalau asal dari jual beli adalah disyariatkan, sesungguhnya di antara bentuk jual beli ada juga yang diharamkan dan ada juga yang diperselisihkan hukumnya. Oleh sebab itu, menjadi satu kewajiban bagi seorang usahawan muslim untuk mengenal hal-hal yang menentukan sahnya usaha jual beli tersebut, dan mengenal mana yang halal dan mana yang haram dari kegiatan itu, sehingga ia betul-betul mengerti perso-alan. Dalam pembahasan ini penulis akan memaparkan beberapa persoalan yang berkaitan dengan masalah jual beli. Mari kita mengikuti pembahasan berikut ini:

DEFINISI JUAL-BELI
      Jual beli secara etimologis artinya: Menukar harta dengan harta.(1) Secara terminologis artinya: Transaksi penukaran selain dengan fasilitas dan kenikmatan. Sengaja diberi pengecualian “fasilitas” dan “kenikmatan”, agar tidak termasuk di dalamnya pe-nyewaan dan menikah. (1) Jual beli adalah dua kata yang saling berlawanan artinya, namun masing-masing sering digunakan untuk arti kata yang lain secara bergantian. Oleh sebab itu, masing-masing dalam akad transaksi disebut sebagai pembeli dan penjual. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Dua orang yang berjual beli memiliki hak untuk menentukan pilihan, sebelum mereka berpindah dari lokasi jual beli.” Akan tetapi bila disebutkan secara umum, yang terbetik dalam hak adalah bahwa kata penjual diperuntukkan kepada orang yang mengeluarkan barang dagangan. Sementara pembeli adalah orang yang mengeluarkan bayaran. Penjual adalah yang mengeluarkan barang miliknya. Sementara pembeli adalah orang yang menjadikan barang itu miliknya dengan kompensasi pembayaran.DISYARIATKANNYA JUAL-BELI

Jual beli disyariatkan berdasarkan konsensus kaum mus-limin. Karena kehidupan umat menusia tidak bisa tegak tanpa adanya jual beli. Allah berfirman:“Dan Allah menghalalkan jual beli serta mengharamkan riba..” (Al-Baqarah: 275).


KLASIFIKASI JUAL BELI

Jual beli diklasifikasikan dalam banyak pembagian dengan sudut pandang yang berbeda-beda. Kami akan menyebutkan sebagian di antara pembagian tersebut:1. Klasifikasi Jual Beli dari Sisi Objek Dagangan Ditinjau dari sisi ini jual beli dibagi menjadi tiga jenis: Pertama: Jual beli umum, yaitu menukar uang dengan barang. Kedua: Jual beli ash-sharf atau Money Changer, yakni penukaran uang dengan uang. Ketiga: Jual beli muqayadhah atau barter. Yakni menukar barang dengan barang.2. Klasifikasi Jual Beli dari Sisi Cara Standarisasi Harga
a) Jual beli Bargainal (Tawar-menawar). Yakni jual beli di mana penjual tidak memberitahukan modal barang yang dijualnya.
b). Jual beli amanah. Yakni jual beli di mana penjual mem-beritahukan harga modal jualannya. Dengan dasar jual beli ini, jenis jual beli tersebut terbagi lain menjadi tiga jenis lain:
* Jual beli murabahah. Yakni jual beli dengan modal dan ke-untungan yang diketahui.
* Jual beli wadhi’ah. yakni jual dengan harga di bawah modal dan jumlah kerugian yang diketahui.
* Jual beli tauliyah. Yakni jual beli dengan menjual barang dalam harga modal, tanpa keuntungan dan kerugian.
Sebagian ahli fiqih menambahkan lagi jenis jual beli yaitu jual beli isyrak dan mustarsal. Isyrak adalah menjual sebagian barang dengan sebagian uang bayaran. Sedang jual beli mustarsal adalah jual beli dengan harga pasar. Mustarsil adalah orang lugu yang tidak mengerti harga dan tawar menawar.
c) Jual beli muzayadah (lelang). Yakni jual beli dengan cara penjual menawarkan barang dagangannya, lalu para pembeli saling menawar dengan menambah jumlah pembayaran dari pembeli sebelumnya, lalu si penjual akan menjual dengan harga tertinggi dari para pembeli tersebut.
Kebalikannya disebut dengan jual beli munaqadhah (obral). Yakni si pembeli menawarkan diri untuk membeli barang dengan kriteria tertentu, lalu para penjual berlomba menawarkan dagang-annya, kemudian si pembeli akan membeli dengan harga ter-murah yang mereka tawarkan.
3. Pembagian Jual Beli Dilihat dari Cara Pembayaran
Ditinjau dari sisi ini, jual beli terbagi menjadi empat bagian:
* Jual beli dengan penyerahan barang dan pembayaran secara langsung.
* Jual beli dengan pembayaran tertunda.
* Jual beli dengan penyerahan barang tertunda.
* Jual beli dengan penyerahan barang dan pembayaran sama-sama tertunda.

SYARAT-SYARAT SAH JUAL BELI
Agar jual beli dapat dilaksanakan secara sah dan memberi pengaruh yang tepat, harus direalisasikan beberapa syaratnya terlebih dahulu. Ada yang berkaitan dengan pihak penjual dan pembeli, dan ada kaitan dengan objek yang diperjual-belikan. Pertama: Yang berkaitan dengan pihak-pihak pelaku, harus memiliki kompetensi dalam melakukan aktivitas itu, yakni dengan kondisi yang sudah akil baligh serta berkemampuan memilih. Tidak sah transaksi yang dilakukan anak kecil yang belum nalar, orang gila atau orang yang dipaksa.
Kedua: Yang berkaitan dengan objek jual belinya, yakni sebagai berikut:a. Objek jual beli tersebut harus suci, bermanfaat, bisa dise-rahterimakan, dan merupakan milik penuh salah satu pihak.
Tidak sah menjualbelikan barang najis atau barang haram seperti darah, bangkai dan daging babi. Karena benda-benda ter-sebut menurut syariat tidak dapat digunakan. Di antara bangkai tidak ada yang dikecualikan selain ikan dan belalang. Dari jenis darah juga tidak ada yang dikecualikan selain hati (lever) dan limpa, karena ada dalil yang mengindikasikan demikian.
Juga tidak sah menjual barang yang belum menjadi hak milik, karena ada dalil yang menunjukkan larangan terhadap itu. Tidak ada pengecualian, melainkan dalam jual beli as-Salm. Yakni sejenis jual beli dengan menjual barang yang digambarkan kri-terianya secara jelas dalam kepemilikan, dibayar dimuka, yakni dibayar terlebih dahulu tetapi barang diserahterimakan bela-kangan. Karena ada dalil yang menjelaskan disyariatkannya jual beli ini.
Tidak sah juga menjual barang yang tidak ada atau yang ber-ada di luar kemampuan penjual untuk menyerahkannya seperti menjual Malaqih, Madhamin atau menjual ikan yang masih dalam air, burung yang masih terbang di udara dan sejenisnya. Malaqih adalah anak yang masih dalam tulang sulbi pejantan. Sementara madhamin adalah anak yang masih dalam tulang dada hewan be-tina.
Adapun jual beli fudhuliy yakni orang yang bukan pemilik barang juga bukan orang yang diberi kuasa, menjual barang milik orang lain, padahal tidak ada pemberian surat kuasa dari pemilik barang. Ada perbedaan pendapat tentang jual beli jenis ini. Na-mun yang benar adalah tergantung izin dari pemilik barang.
b. Mengetahui objek yang diperjualbelikan dan juga pemba-yarannya, agar tidak terkena faktor “ketidaktahuan” yang bisa termasuk “menjual kucing dalam karung”, karena itu dilarang.
c. Tidak memberikan batasan waktu. Tidak sah menjual barang untuk jangka masa tertentu yang diketahui atau tidak di-ketahui. Seperti orang yang menjual rumahnya kepada orang lain dengan syarat apabila sudah dibayar, maka jual beli itu diba-talkan. Itu disebut dengan “jual beli pelunasan”.
Nanti jenis jual beli akan dibahas secara terpisah dengan rinci dalam pembahasan ini, insya Allah.


SEBAB-SEBAB DILARANGNYA JUAL BELI

Sebab-sebab Dilarang Jual Beli Bisa Kembali Kepada Akad Jual Beli dan Bisa Kepada Hal Lain Larangan yang kembali kepada akad dasarnya adalah tidak terpenuhinya persyaratan sahnya jual beli sebagaimana telah disinggung sebelumnya. Dan dalam kesempatan ini kita ulangi kembali pembahasannya yang berkaitan dengan objek jual beli-nya, dan ada juga yang berkaitan dengan komitmen sebuah perjanjian/akad jual beli yang disepakati.Yang berkaitan dengan objeknya adalah sebagai berikut:
§                      Tidak terpenuhinya syarat adanya perjanjian. Yakni men-jual yang tidak ada, seperti menjual anak binatang yang masih dalam tulang sulbi pejantannya atau masih tulang dada induknya, menjual janin yang masih dalam perut induknya dan sejenisnya.
§                      Tidak terpenuhinya syarat nilai dan fungsi yang disyariatkan dari objek yang diperjualbelikan, seperti menjual bangkai, daging babi dan benda-benda haram lainnya, atau menjual barang-barang najis. Karena semua itu dianggap tidak bernilai, meskipun sebagian orang menganggapnya bernilai karena tidak memandangnya dengan hukum syariat.
§                      Tidak terpenuhinya syarat kepemilikan objek jual beli oleh si penjual. Seperti jual beli fudhuliy dengan menjual barang milik orang lain tanpa izinnya dan tanpa surat kuasa darinya. Sehingga juga tidak sah menjual harta wakaf, masjid, harta sedekah atau hibah sebelum diserahterimakan kepada penjual, atau menjual harta rampasan perang sebelum dibagi-bagikan, dan sejenisnya.
Yang berkaitan dengan komitmen terhadap akad jual belinya ada dua macam:
§                      Karena jual beli yang mengandung riba.
§                      Karena jual beli yang mengandung kecurangan.
Sementara sebab-sebab larangan yang tidak kembali kepada akadnya atau terhadap komitmen perjanjian jual belinya, namun berkaitan dengan hal-hal lain di luar kedua hal tersebut ada dua macam:Pertama: Yang barometer larangannya itu kembali kepada terjadinya penyulitan dan sikap merugikan, seperti seorang mus-lim yang menjual barang yang masih dalam proses transaksi temannya, atau menjual senjata pada masa terjadinya konflik berdarah antar sesama muslim, monopoli dan sejenisnya.Kedua: Yang barometer larangan itu kembali kepada adanya pelanggaran syariat semata, seperti berjualan ketika sudah diku-mandangkan adzan Jum’at, atau menjual mushaf al-Qur’an kepada orang kafir, kalau menurut berat sangkaan orang kafir itu akan menghinakannya, dan sejenisnya.Kemungkinan sebab paling kuat dan yang paling banyak tersebar dalam realitas kehidupan modern sekarang ini, yang menyebabkan rusaknya perjanjian jual beli adalah sebagai berikut:
§                      Objek jual beli yang haram.
§                      Riba.
§                      Kecurangan.
§                      Syarat-syarat rusak yang menggiring kepada riba, kecurangan atau kedua-duanya.
Akan penulis bahas sebab-sebab ini secara rinci ketika kita membicarakan persoalan kode etik pengelolaan modal, di tengah-tengah pambahasan ini, insya Allah.


JUAL BELI YANG DIHARAMKAN

1. Menjual tanggungan dengan tanggungan Menjual tanggungan dengan tanggungan yakni menjual hutang dengan hutang.Telah diriwayatkan larangan terhadap menjual tanggungan dengan tanggungan dalam sunnah Nabi yang suci. Dalam hadits Ibnu Umar bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam melarang menjual tanggungan dengan tanggungan. (Dikeluarkan oleh ath-Thahawi dalam Syarhul Ma’ani IV: 21, dan juga dalam Musykilul Atsar nomor 795. Diriwayatkan oleh ad-Daruquthni III:71, juga oleh al-Hakim II:57, dan oleh al-Baihaqi V: 290 dengan sanad yang lemah, karena lemahnya Musa bin Ubaidah ar-Rubadzi. Al-Hafizh Ibnu Hajar menukil dalam at-Talkhish III:26, dari Imam Ahmad: “Dalam masalah ini tidak ada hadits shahih. Akan tetapi ijma’ kaum muslimin adalah bahwa menjual hutang dengan hutang tidak boleh.” Sementara Imam ath-Thahawi menyatakan: “Ahlul hadits menafsirkan hadits ini dengan riwayat Abu Musa bin Ubaidah, meskipun mengandung kekurangan dalam sanadnya. Ini merupakan bab besar dalam ilmu fiqih.” Lihat Musykilul Atsar II: 266.)
Menjual hutang dengan hutang memiliki aplikasi yang bermacam-macam. Jenis yang disyariatkan terkadang sulit dibedakan dengan yang tidak disyariatkan. Tampaknya persoalan ini amat dibutuhkan sekali untuk dirinci. Penulis menegaskan:
Hutang yang dijual itu tidak lepas dari keberadaannya seba-gai pembayaran yang ditangguhkan, barang dagangan tertentu yang diserahkan secara tertunda, atau barang dagangan yang di-gambarkan kriterianya dan akan diserahkan juga secara tertunda. Masing-masing dari aplikasi itu memiliki hukum tersendiri. Berikut penjelasannya:
Aplikasi Pertama: Menjual harga yang ditangguhkan dengan pembayaran yang ditangguhkan juga.
Di antaranya adalah menggugurkan apa yang ada pada tanggungan orang yang berhutang dengan jaminan nilai tertentu yang pengambilannya ditangguhkan dari waktu pengguguran. Itu adalah bentuk yang disebut ‘Silakan tangguhkan pembayaran hutangmu, tapi tambah jumlahnya’. Itu merupakan bentuk riba yang paling jelas dan paling jelek sekali.
Contoh lain penukaran dua hutang uang yang keduanya adalah ditangguhkan. Menurut semua ulama dalam masalah hukum sharf bahwa kalau uang dijual dengan uang yang sama jenisnya, harus dipenuhi dua syarat: Keduanya harus sama nilai-nya dan harus diserahterimakan secara langsung. Namun bila dijual dengan jenis lain, hanya ada keharusan serahterima secara langsung saja, ketidaksamaan nilai dibolehkan. Serahterima secara langsung merupakan syarat sahnya jual beli Money Changer dalam segala kondisi. Karena dalam aplikasi ini syarat tersebut tidak ada, maka jelas perjanjian ini tidak diragukan lagi adalah batal.
Aplikasi Kedua: Menjual harga yang ditangguhkan dengan Barang Dagangan Tertentu yang Juga Diserahterimakan Secara Tertunda
Bentuk aplikasinya adalah bila seseorang menjual piutang-nya kepada orang yang punya hutang dengan barang dagangan tertentu (mobil misalnya) yang akan diterimanya secara tertunda. Cara ini tentu saja mirip dengan kisah Nabi yang membeli unta dari Jabir, dan Jabir meminta kepada Nabi untuk menyerahkan untanya itu di kota Al-Madinah. Dan Rasulullah juga akan mem-bayarkan nanti bila sampai di Al-Madinah. Transaksi itu terjadi pada salah satu perjalanan Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam . Diriwayatkan oleh al-Bukhari dan Muslim dalam kitab al-Buyu’, bab: Ad-Dawab nomor 2097. Diriwayatkan oleh Muslim dalam al-Musaqat, bab: Menjual Unta dan Meminta Tetap Mengendarainya Sementara.
Aplikasi Ketiga: Menjual harga yang ditangguhkan dengan Barang yang Digambarkan Kriterianya dan Diterima Secara Ter-tunda
Bentuk aplikasinya adalah seseorang memiliki piutang atas seseorang secara tertunda, lalu ia membeli dari orang yang dihu-tanginya barang yang digambarkan kriterianya (sekarung beras misalnya) dan diterima secara tertunda pula. Ini termasuk bentuk jual beli as-Salm. Kalau orang yang berhutang rela untuk menye-gerakan pembayaran yang menjadi tanggungannya, dan menjadi-kannya sebagai pembayaran pesanan itu, maka ini boleh-boleh saja. Karena bentuk aplikasi ini sudah memenuhi persyaratan jual beli as-salm yang termasuk di antara salah satu persyaratannya yang paling mengikat adalah: disegerakannya pembayaran harga modal. Karena yang berada dalam kepemilikan sama halnya dengan yang ada di tangan. Namun kalau orang yang berhutang tidak mau kalau menyegerakan pembayaran hutangnya yang menjadi tanggungannya dan dijadikannya sebagai pembayaran as-Salm, maka bentuk aplikasi jual beli ini tidak sah, karena salah satu syarat jual beli as-Salm tidak terpenuhi, yakni penyegeraan pem-bayaran modal barang.
Aplikasi Keempat: Menjual Barang yang Digambarkan Kriterianya Secara Tertunda dengan Barang yang Digambarkan Kriterianya Secara Tertunda Pula
Bentuk aplikatifnya adalah seseorang menjual sejumlah mobil yang digambarkan kriterianya dan diserahkan secara ter-tunda dengan sejumlah Freezer yang juga digambarkan kriterianya dan diserahkan secara tertunda pula. Bentuk aplikasi jual beli ini ada dua kemungkinan:
Dilaksanakan transaksinya seperti jual beli as-Salm. Bila demikian, maka tidak boleh, karena salah satu dari syarat jual beli As-Salm tidak terpenuhi, yakni pembayaran uang di muka.
Dilakukan akad dengan bentuk seperti kontrak, dalam hal ini tampaknya tidak ada masalah bagi mereka yang berpendapat bahwa kontrak adalah bentuk akad jual beli tersendiri, tidak ada persyaratan harus ada pembayaran di muka dalam lokasi transaksi.
Mirip dengan bentuk aplikasi ini, apa yang disebutkan Abu Ubaid ketika ia menggambarkan jual beli tanggungan dengan tanggunan. Ia berkata: Gambarannya yaitu: seseorang menyerah-kan beberapa dirham untuk membeli makanan yang diserahkan secara tertunda. Kalau datang waktunya, orang yang harus menyerahkan makanan berkata: “Saya tidak mempunyai makanan. Jual saja lagi makanan yang seharusnya kuberikan itu kepadaku dengan pembayaran tertunda.” Yang demikian itu pembayaran tertunda yang berbalik menjadi pembayaran tertunda lain. Kalau makanan itu sudah diserahkan dan dijual kepada orang lain, baru uangnya diserahkan, bukanlah termasuk menjual tanggungan de-ngan tanggungan.
3. Dua Perjanjian Dalam Satu Transaksi Jual Beli
Membuat dua perjanjian dalam satu transaksi jual beli merupakan hal yang dilarang dalam syariat. Diriwayatkan adanya sejumlah dalil yang melarang perbuatan tersebut. Diriwayatkan oleh Ahmad dan at-Tirmidzi dari hadits Abu Hurairah tentang larangan Rasulullah terhadap hal tersebut.
Hadits Abu Hurairah, dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam diriwayatkan bahwa beliau bersabda: “Barangsiapa yang melakukan dua perjanjian jual beli dalam satu transaksi jual beli, maka hendaknya ia mengambil yang paling sedikit, kalau tidak ia telah mengambil riba.”
Diriwayatkan oleh Ahmad dalam Musnadnya dari Hadits Ibnu Mas’ud bahwa ia menceritakan, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam melarang adanya dua perjanjian dalam satu transaksi.”
Dalam riwayat lain disebutkan, “Tidaklah pantas melakukan dua perjanjian dalam satu transaksi.”
Para ulama berbeda pendapat tentang arti dari dua per-janjian tersebut. Ada beberapa pendapat yang kita lampirkan di bawah ini:

1. Artinya adalah jual beli dengan dua harga, kontan dan kredit dengan harga lebih mahal. Tambahan harga dengan men-jual barang secara tertunda pembayarannya namun lebih mahal dari harga sekarang, diriwayatkan dari Zainal Abidin bahwa beliau menyatakan keharamannya. Yakni keharaman menjual se-suatu lebih mahal dari harga sekarang dengan pembayaran ter-tunda. Penafsiran semacam ini telah dibantah oleh mayoritas ulama. Namun bentuk jual beli semacam ini, menurut pendapat yang benar dari dua pendapat yang ada, adalah disyariatkan.

2. Penjualan dengan dua harga, kontan dan kredit, dan harga kredit atau tertundanya lebih mahal, namun tidak dijelaskan. Misalnya seorang penjual berkata, “Kalau kontan bisa sekian har-ganya, dan kalau dibayar belakangan atau dibeli kredit bisa sekian.” Kemudian kedua orang itu berpisah (dari majlis) dengan ketidak-jelasan, tanpa menentukan salah satunya.
Alasan dilarangnya bentuk jual beli ini ada dua hal :
Pertama: Ketidakjelasan dan ketidakstabilan harga.
Kedua: Ada kemungkinan terjadinya riba, karena yang demikian itu berarti ia memindahkan kepemilikan dengan pembayaran satu dinar secara kontan dan dengan dua dinar bila dibayar secara tertunda. Dan yang pasti menjadi miliknya adalah salah satu dari keduanya. Jadi seolah-olah yang menjadi miliknya adalah satu dinar secara kontan, lalu ia tangguhkan pembayarannya sehingga berubah menjadi dua dinar. Atau yang menjadi kewajibannya adalah dua dinar secara tertunda, lalu ia segerakan pembayarannya sehingga berubah menjadi satu dinar saja.

3. Menjual sesuatu dengan pembayaran tertunda, kemudian membelinya kembali dengan pembayaran kontan dengan harga lebih murah dari harga pertama. Jual beli ini disebut juga dengan jual beli ‘inah. Termasuk salah satu jenis jual beli yang menjadi fasilitator riba. Karena tujuannya sebenarnya adalah meminjami uang dengan dibayar uang berikut tambahan, sedangkan barang dagangan hanya dijadikan mediator semata untuk melegali-sasikan bunga tersebut. Ibnul Qayyim menyatakan dalam Tahdzib as-Sunan, “Arti hadits yang menyebutkan (diharamkannya) dua transaksi dalam satu aktivitas jual beli adalah satu arti saja, tidak ada lagi pengertian selain itu. Yaitu yang relevan dengan sabda Nabi yang melarang seseorang menjual sesuatu dengan pemba-yaran tertunda, lalu membelinya lagi secara kontan dengan harga lebih murah dari harga pertama. Ia hanya berhak mengambil harga yang termurah dari keduanya, karena selebihnya adalah riba. Ia bisa mengambil harga yang lebih besar, dan itu adalah riba. Atau mengambil harga yang terendah, yakni harga pertama. Bisa juga artinya adalah menjual uang secara kontan dengan pem-bayaran secara tertunda dengan jumlah lebih banyak. Yang berhak ia ambil hanya uang yang menjadi modalnya saja. Mereka yang berpendapat tentang haramnya jual beli ‘inah akan menyatakan bahwa jual beli itu selain haram juga merusak, kalau betul-betul dilakukan. Dan kalau itu dilakukan dengan kesepakatan, bukan karena faktor kebetulan, maka jual beli itu batal, berdasarkan kesepakatan para ulama.

4. Arti dua perjanjian dalam satu aktivitas jual beli adalah memberikan syarat sebuah perjanjian lain dalam satu transaksi jual beli yang berlangsung. Misalnya si penjual mengatakan, “Saya akan menjual rumah ini kepadamu dengan harga sekian dengan syarat engkau menjual mobilmu kepadaku dengan harga sekian. Tak ada bedanya apakah ditentukan harga dan barang yang dimaksud dalam perjanjian kedua ataupun tidak. Karena kedua bentuk perjanjian itu tergabung dalam satu perjanjian jual beli, dan itu dilarang. Perbuatan itu termasuk dalam larangan umum tentang melakukan dua perjanjian dalam satu aktivitas jual beli.
Aplikasi jual beli semacam ini harus dibedakan dengan menjual dua jenis barang dengan satu harga, seperti menjual mobil dan rumah dengan harga satu juta dinar misalnya. Atau menjual satu barang dengan mobil ditambah seribu dolar. Yang demikian itu tidak termasuk melakukan dua perjanjian dalam satu aktivitas jual beli, dan bahkan ini boleh dengan kesepakatan.

5. Memesan barang berjangka dengan serah terima tertunda. Bila telah jatuh tempo, barang itu kembali dijual kepadanya secara berjangka pula dengan harga lebih. Penjualan kedua ini termasuk dalam jual beli pertama. Maka harus dikembalikan kepada yang paling sedikit keuntungannya, yakni penjualan pertama. Jual beli semacam ini dilarang menurut kesepakatan para ulama.

4. Menjual Barang Yang Masih Dalam Proses Transaksi Dengan Orang Atau Menawar Barang yang Masih Di-tawar Orang LainDi antara bentuk jual beli yang dilarang yakni apabila sese-orang menjual sesuatu yang masih dalam proses transaksi dengan orang lain, atau menawar barang yang masih ditawar orang lain.
Di antara bentuk aplikatif menjual sesuatu dalam transaksi orang lain misalnya: Ada dua orang yang berjual beli dan sepakat pada satu harga tertentu. Lalu datang penjual lain dan mena-warkan barangnya kepada pembeli dengan harga lebih murah. Atau menawarkan kepada si pembeli barang lain yang berkualitas lebih baik dengan harga sama atau bahkan lebih murah. Tidak ada perbedaan pendapat di kalangan ulama bahwa itu adalah per-buatan dosa bila aplikasinya demikian, karena dapat menyebab-kan ketidaksenangan orang lain dan membahayakannya. Selain juga karena ada larangan tegas terhadap perbuatan itu dari Sunnah Nabi yang shahih.

Bentuknya yang lain misalnya seperti yang diriwayatkan oleh Ibnu Umar dari Sabda Rasulullah, “Tidak sah menjual sesuatu dalam transaksi orang lain.” Diriwayatkan oleh al-Bukhari dan Muslim. Dalam riwayat Muslim disebutkan, “Janganlah seseorang melakukan transaksi penjualan dalam transaksi orang lain. Dan janganlah seseorang meminang wanita yang masih dipinang oleh orang lain, kecuali bila mendapatkan izin dari pelaku transaksi atau peminang pertama.”
Sementara dalam riwayat an-Nasai disebutkan, “Janganlah seseorang menjual dalam transaksi orang lain, se-hingga ia membelinya atau meninggalkan transaksi tersebut.”
Dengan alasan itulah mayoritas ulama memilih pendapat haramnya bentuk-bentuk jual beli semacam itu, bahkan meng-anggapnya sebagai kemaksiatan.

5. Menawar Barang yang Sedang Ditawar Orang Lain
Adapun menawar barang yang masih ditawar orang lain, yakni seperti dua pihak yang melakukan transaksi jual beli lalu sama-sama sepakat pada satu harga tertentu, lalu datang pembeli lain yang menawar barang yang menjadi objek transaksi mereka dengan harga lebih mahal, atau dengan harga yang sama, hanya saja karena ia orang yang berkedudukan, maka si penjual lebih cenderung menjual kepada orang itu, karena melihat kedudukan orang kedua tersebut.
Kalau kedua orang itu saling tawar menawar, lalu terlihat indikasi bahwa keduanya tidak bisa menyepakati satu harga, tidak diharamkan untuk menawar barang transaksi mereka. Namun kalau belum kelihatan apakah mereka telah memiliki kesepakatan harga atau tidak, penawaran dari pihak pembeli lain untuk sementara ditahan. Demikian juga menurut kalangan Hambaliyah, perlu dibuktikan terlebih dahulu adanya kesepakatan mereka, agar se-mua pihak merasa senang. Namun menurut kalangan Hanafiyah, hal itu tidak mengapa. Boleh-boleh saja melakukan penawaran dengan harga lebih sekalipun, karena itu termasuk jual beli yang disebut lelang. Hal itu tidak dilarang.
Dengan terbuktinya keharaman bentuk-bentuk jual beli ter-sebut di atas, namun menurut para ulama jual beli tersebut tetap sah, karena larangan itu kembali kepada hal di luar pengertian transaksi dan berbagai komitmennya. Karena jual beli tersebut tetap tidak kehilangan satupun dari rukun-rukunnya, atau salah satu dari syarat-syarat sahnya. Larangan itu terhadap hal yang berkaitan dengan transaksi tetapi berada di luar substansi tran-saksi tersebut dan komitmen-komitmennya. Itu termasuk per-buatan yang mengganggu orang lain, namun tidak membatalkan transaksi menurut mayoritas ulama.
Pelelangan
Dari larangan terhadap penawaran barang yang masih dalam penawaran orang lain, dikecualikan sejenis jual beli yang disebut pelelangan. Pelelangan itu boleh berdasarkan ijma/konsensus kaum muslimin. Pelelangan adalah penawaran barang di tengah keramaian. Lalu para pembeli saling menawar dengan harga tertinggi, sampai kepada batas harga tertinggi yang ditawarkan, lalu terjadilah transaksi, dan si pembeli bisa mengambil barang yang dijual.

Di antara dalil-dalil yang menunjukkan bolehnya jual beli yang disebut pelelangan itu, yaitu:

Hadits Anas bin Malik -rodhiyallahu ‘anhu- yang menceritakan bahwa ada seorang lelaki dari kalangan Anshar yang datang menemui Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam dan ia meminta sesuatu kepada beliau. Beliau bertanya kepa-danya, “Apakah di rumahmu tidak ada sesuatu?” Lelaki itu menja-wab, “Ada. Dua potong kain, yang satu dikenakan dan yang lain untuk alas duduk, serta cangkir untuk meminum air.” Beliau berkata, “Kalau begitu, bawalah kedua barang itu kepadaku.” Lelaki itu datang membawanya. Rasulullah  bertanya, “Siapa yang mau membeli barang ini?” Salah seorang sahabat beliau menjawab, “Saya mau membelinya dengan satu dirham.” Beliau bertanya lagi, “Ada yang mau membelinya dengan harga lebih mahal?” Beliau menawar-kannya hingga dua atau tiga kali. Tiba-tiba salah seorang sahabat beliau yang lain berkata, “Aku mau membelinya dengan harga dua dirham.” Maka beliau memberikan kedua benda itu kepada-nya. Beliau mengambil uang dua dirham itu dan memberikannya kepada lelaki dari Anshar tersebut. Beliau berkata, “Gunakanlah yang satu dirham untuk membeli makanan dan berikan kepada keluargamu. Lalu gunakan yang satu dirham lagi untuk membeli kapak, lalu bawa kapak itu ke hadapanku.” Lelaki itu pun pergi dan kembali lagi dengan membawa sebilah kapak. Nabi meng-gunakan kapak itu untuk membelah kayu dengan tangan beliau sendiri, lalu beliau berkata, “Pergi dan carilah kayu bakar, lalu juallah. Jangan perlihatkan dirimu selama lima belas hari.” Lelaki itupun pergi mencari kayu bakar dan menjualnya. Ia pulang de-ngan membawa hasil sepuluh dirham. Uang itu ia gunakan seba-gian untuk membeli pakaian dan sebagian lain untuk membeli makanan. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,
“Ini lebih baik bagimu daripada kebiasaanmu meminta-minta itu akan menjadi bercak hitam di wajahmu pada hari Kiamat nanti. Meminta-minta itu hanya dibolehkan bagi tiga orang: orang yang terlilit kemiskinan, orang yang terlilit hutang dan orang yang menanggung diyat.” Diriwayatkan oleh Abu Daud 1641. Diriwayatkan oleh at-Tirmidzi 1218. Diriwayatkan oleh an-Nasai VII: 259. Diriwayatkan oleh Ahmad dalam Musnadnya III: 100, 114. Diriwayatkan oleh at-Tirmidzi, beliau berkata, “Hadits ini hasan.” Inilah yang menjadi amalan para ulama.

Dan sesungguhnya kaum muslimin masih melakukan muzaayadah ini di pasar-pasar mereka tanpa ada pengingkaran. Dan sesungguhnya larangan itu hanya pada penawaran saat jual beli, sedangkan muzayadah adalah di luar jual beli. Penjelasan Majelis Ulama Fiqih Tentang Hukum Jual-beli Kredit
Pembolehan jual beli dengan pembayaran tertunda dengan tambahan harga yang telah kami paparkan sebelumnya, demikian juga tidak bolehnya memberikan sanksi denda bila terjadi keter-lambatan, adalah pendapat yang dipilih oleh Majelis Ulama Fiqih yang ikut dalam Organisasi Muktamar Islam. Dalam muktamar-nya yang keenam di Jeddah pada bulan Sya’ban tahun 1410 H. ditetapkan sebagai berikut:
“Dibolehkannya tambahan harga kredit dari harga kontan. Juga dibolehkan menyebutkan harga kontan dengan harga kreditnya disertai dengan waktu-waktu penyicilannya. Jual beli dianggap tidak sah sebelum kedua transaktornya menegaskan mana yang mereka pilih, kontan atau kredit. Kalau jual beli itu dilakukan dengan keragu-raguan antara kontan dengan kredit, misalnya belum terjadi kesepakatan antara kedua belah pihak, maka jual beli itu tidak sah secara syar’i.

            Menurut ajaran syariat, ketika terjadi proses jual beli ini tidak boleh menegaskan keuntungan kredit secara rinci secara terpisah dari harga kontan, sehingga ada keterikatan dengan jangka waktu. Baik kedua pelaku jual beli itu menyepakati prosentase keuntungan tertentu, atau tergantung dengan jumlah penam-bahan waktu saja.Kalau pembeli sekaligus orang yang berhutang terlambat membayar cicilannya sesuai dengan waktu yang ditentukan, tidak boleh memaksa dia membayar tambahan lain dari jumlah hutang-nya, dengan persyaratan yang disebut dalam akadnya ataupun tidak. Karena itu adalah bentuk riba yang diharamkan.
Orang yang berhutang padahal mampu membayar tidak boleh dia memperlambat pembayaran hutangnya yang sudah tiba waktu cicilannya. Meski demikian, juga tidak boleh memberi per-syaratan adanya kompensasi atau sanksi denda bila terjadi keter-lambatan pembayaran.
Menurut syariat dibolehkan seorang penjual meminta pe-nyegeraan pembayaran cicilan dari waktu yang ditentukan, ketika orang yang berhutang pernah terlambat dalam membayar cicilan sebelumnya, selama orang yang berhutang itu rela dengan syarat tersebut ketika terjadi transaksi.
Penjual tidak boleh menyimpan barang milik pembeli sete-lah terjadi proses jual beli kredit ini. Namun ia bisa meminta syarat untuk sementara barang itu digadaikan di tempatnya seba-gai jaminan hingga ia melunasi hutang cicilannya.
Kedua : Jual Beli ‘Inah‘Inah secara bahasa artinya adalah pinjaman. Dikatakan mi-salnya: si Fulan melakukan ‘ain, yakni membeli sesuatu dengan pembayaran tertunda atau berhutang. Atau menjual barang dengan pembayaran tertunda, lalu membelinya lagi dengan harga lebih murah dari harga penjualan. Jual beli ini disebut‘inah karena si pemilik barang bukan menginginkan menjual barang, tetapi yang diinginkannya adalah ‘ain (uang). Atau karena si penjual kembali memiliki ‘ain (benda) yang dia jual.
Menurut terminologi ilmu fiqih artinya: Jual beli manipulatif untuk digunakan alasan peminjaman uang yang dibayar lebih dari jumlahnya. Yakni dengan cara menjual barang dengan pem-bayaran tertunda, lalu membelinya kembali secara kontan dengan harga lebih murah.
Hukum Jual Beli ‘Inah

Para ulama sependapat bahwa jual beli ‘inah ini diharamkan bila terjadi melalui kesepakatan dan persetujuan bersama dalam perjanjian pertama untuk memasukkan perjanjian kedua ke dalamnya.
Namun para ulama berbeda pendapat bila tidak terjadi kesepakatan sebelumnya. Di sini ada dua pendapat:
Pendapat pertama:Haram. Ini adalah pendapat mayoritas ulama dari kalangan Hanafiyah, Malikiyah dan Hambaliyah. Di antara dalil-dalil mereka dalam menetapkan keharamannya yaitu:
Riwayat Atha dari Ibnu Umar -rodhiyallahu ‘anhu- bahwa ia menceritakan, “Aku pernah mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:

“Kalau manusia sudah menjadi kikir gara-gara uang (dinar dan dirham), sudah mulai melakukan jual beli ‘inah, mengikuti ekor-ekor sapi dan meninggalkan jihad fi sabilillah, pasti Allah akan menurunkan bencana kepada mereka, dan bencana itu tidak akan dihilangkan sebelum mereka kembali kepada agama mereka.” (HR. Ahmad dalam Musnadnya). (Diriwayatkan oleh Abu Daud 3456. Diriwayatkan oleh al-Baihaqi V: 325. Namun dalam sanadnya terdapat Atha al-Khurasani ia perawi yang lemah. Ia meriwayatkan dari Ishaq bin Usaid al-Khurasani, yang juga tidak diketahui identitasnya. Demikian dinyatakan oleh Abu Ahmad dan al-Hakim. Diriwayatkan oleh Abu Bakar bin Iyyasy, dari al-A’masy. Dikeluarkan oleh Ahmad (4875 cet. Syakir) Ibnu Iyyasy ini juga lemah, ia menjadikan riwayat ini dari Atha bin Abi Rabbah. Lihat Sunan al-Baihaqi V: 316 dan juga Nashbur Raayah IV: 16 dan juga asy-Syarhul Kabir terhadap al-Muqni’ IV: 54.)
Indikasi hadits terhadap haramnya jual beli ini amat jelas. Karena berjual beli dengan sistem ‘inah merupakan salah satu sebab turunnya bencana. Alasan dengan hadits ini dapat dibantah dari dua sisi:
Sisi pertama: Dari sisi sanad. Karena dalam sanad hadits itu terdapat Ishaq bin Usaid al-Khurasani yang haditsnya tidak dapat dijadikan hujjah. Dalam sanad hadits itu juga terdapat Atha al-Khurasani. Ia juga masih diragukan.
Sisi kedua: Dari sisi indikasinya terhadap keharaman jual beli ‘inah. Karena jual beli ‘inah dalam hadits itu diseiringkan dengan berbagai hal lain yang tidak diharamkan, seperti membajak de-ngan sapi dan sibuk bercocok tanam.
Jelas sekali bahwa bantahan ini lemah sekali. Karena hadits ini menggabungkan beberapa hal yang berbeda dalam satu alur pembicaraan, padahal hukum masing-masing dari semua hal tersebut berbeda-beda tergantung dengan niat dan tujuan. Seperti sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam :
“Hasil profesi tukang bekam adalah busuk. Hasil upah seorang dukun adalah busuk. Upah bagi seorang pelacur adalah busuk.( Diriwayatkan oleh Muslim dalam kitab al-Musaqat bab: Diharamkannya Menjual Anjing, nomor 1568.)
“Padahal upah kerja seorang pembekam tidaklah haram. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam sendiri pernah berbekam dan memberikan upah kepada si tukang bekam.” ( Diriwayatkan oleh Ibnu Hibban dalam Shahihnya 5151. Diriwayatkan oleh Ibnu Majah 2164, dan sanadnya shahih. Lihat Tahdzibus Sunan V: 101)
Diriwayatkan oleh Imam ad-Daruquthni dan al-Baihaqi dari Abu Ishaq, dari istrinya Aliyyah bahwa ia pernah menemui Aisyah radhiyallah ‘anha bersama dengan Ummu Walad Zaid bin Arqam serta seorang wanita lain. Ummu Walad Zaid berkata, “Aku pernah menjual budak kepada Zaid seharga delapan ratus dirham dengan pembayaran tertunda. Dan aku membelinya kembali seharga enam ratus dirham kontan.” Aisyah berkata, “Sungguh tidak bagus cara engkau berjualan dan cara engkau membeli. Katakan kepada Zaid, bahwa ia telah membatalkan pahala jihad dan hajinya bersama Rasulullah, kecuali kalau ia bertaubat!” Wanita itu berkata, “Bagai-mana kalau yang kuambil hanya modalku saja?” Aisyah menjawab, “Allah berfirman:
“Orang-orang yang telah sampai kepadanya larangan dari Rabb-nya, lalu terus berhenti (dari mengambil riba), maka baginya apa yang telah diambilnya dahulu (sebelum datang larangan).” (Al-Baqarah: 275).
Indikasi hadits tersebut terhadap keharaman jual beli ter-sebut jelas sekali. Bahkan Aisyah menganggap perbuatan itu dapat membatalkan pahala haji dan jihad, kecuali kalau pelaku-nya bertaubat.
Namun alasan dengan dalil ini juga dapat dibantah dari dua sisi pula:
Pertama: Dari sisi sanad hadits. Istri Abu Ihshaq di sini tidak diketahui identitasnya, dan dia juga belum pernah mendengar hadits dari Aisyah. Namun ia mendengarnya dari istri Abu as-Safar, dan dia lebih tidak dikenal lagi identitasnya.
Kedua: Dari sisi indikasi hadits. Karena mustahil bila Aisyah sampai menetapkan batalnya pahala jihad seorang sahabat besar karena satu perkara yang paling banter beliau hanya bisa dihu-kum sebagai seorang mujtahid yang keliru. Beliau berhak menda-patkan satu pahala, bukan sebaliknya malah divonis telah batal pahala haji dan jihadnya! Bagaimana tidak? Beliau adalah salah seorang yang turut melakukan baiat di bawah pohon ar-Ridhwan. Keridhaan Allah terhadap para pelakunya tercatat dalam ayat Al-Qur’an yang dibaca oleh umat manusia sepanjang masa?
Kemudian alasan mereka yang lain adalah beberapa riwayat daripada sahabat tentang haramnya jual beli ini.
Diriwayatkan dari Ibnu Abbas y bahwa ia pernah ditanya tentang seorang lelaki yang menjual sehelai sutera kepada orang lain seharga seratus dirham. Kemudian ia membelinya kembali seharga lima puluh dirham saja secara kontan. Ibnu Abbas men-jawab, “Itu artinya menjual dirham dengan dirham secara berbu-nga, namun mediatornya adalah sehelai sutera.”
Di antaranya lagi riwayat dari Anas bin Malik ketika ditanya tentang jual beli ‘inah –yakni dengan sutera sebagai mediatornya-, beliau menjawab, “Sesungguhnya Allah tidak mungkin dikelabui. Itu termasuk perbuatan yang diharamkan oleh Allah dan Rasul-Nya.” Apabila seorang sahabat Nabi mengatakan, “Diharamkan oleh Allah dan RasulNya,” demikian juga bila ia mengatakan, “..diperintahkan oleh Allah dan RasulNya,” maka hukumnya seperti hadits marfu’, yakni yang berasal dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam langsung.
Namun alasan dengan riwayat-riwayat itu juga masih bisa dibantah, yakni bahwa semua riwayat tersebut bertentangan dengan riwayat-riwayat lain yang menetapkan bolehnya jual beli tersebut. Maka pendapat para sahabat yang melarangnya itu bisa ditafsirkan, bila jual beli itu dilakukan dengan kesepakatan, bukan secara kebetulan.
Pendapat kedua: Boleh. Ini adalah pendapat asy-Syafi’i, Abu Yusuf dan azh-Zhahiriyah. Di antara dalil-dalil mereka misalnya:
Keumuman nash atau dalil-dalil tegas tentang halalnya jual beli. Jual beli ‘inah adalah salah satu dari bentuk jual beli. Tidak akan keluar dari asal hukum jual beli, kecuali dengan dalil.
Namun pendapat ini bisa dibantah, bahwa semua dalil-dalil umum tersebut telah dikhususkan oleh berbagai dalil lain yang dijadikan alasan oleh para ulama yang melarangnya.
Yang bisa kita simpulkan setelah memaparkan beberapa pendapat tersebut, bahwa yang benar jual beli semacam itu dilarang, untuk menutup jalan menuju riba dan memutus jalan bagi orang-orang yang suka membuat penyamaran terhadap bentuk usaha yang haram, agar tujuan mereka tidak tercapai.
Ketiga: Jual Beli Wafa
Yakni jual beli dengan persyaratan saling mengembalikan hak pihak lain. Yakni kapan penjual mengembalikan uang si pembeli, si pembeli juga akan mengembalikan barang si penjual. Disebut sebagai jual beli wafa (pelunasan), karena ada semacam perjanjian dari pembeli untuk melunasi hak si penjual, yakni me-ngembalikan barangnya, kalau si pembeli mengembalikan uang bayarannya.
Selayang Pandang Sejarah Jual Beli Wafa
Bentuk jual beli ini terjadi pertama kali di Bukhara dan Balkh pada awal abad ke lima hijriyah. Yang menjadi pemicunya adalah karena kebanyakan orang yang berharta tidak mau meminjamkan uangnya secara baik, sementara mereka merasa berat melakukan riba, di sisi lain orang banyak amat membutuhkan harta. Oleh sebab itu, mereka mencari jalan keluar yang mereka anggap dapat merealisasikan kemaslahatan kedua belah pihak.
Manfaat bagi penjual karena bisa mendapatkan uang yang dia inginkan tanpa harus dengan terpaksa menjual barang mati yang bisa jadi dia niatkan secara keras agar tidak keluar dari kepemilikannya.
Manfaat bagi pembeli sehingga dapat mengembangkan har-tanya, jauh dari lingkaran perbuatan riba yang terang-terangan.
Proses Transaksi Jual Beli Wafa
Jelas bahwa transaksi semacam itu mengandung improvisasi berbagai macam hukum jual beli dan berbagai hukum pegadaian.
Dalam jual beli itu terdapat hukum-hukum jual beli, misal-nya si pembeli boleh memanfaatkan barang dagangannya penggu-naan dan pemanfaatan yang benar. Ia bisa menggunakannya untuk diri sendiri dan memanfaatkannya untuk disewakan tanpa izin si penjual.
Jual beli itu juga mengandung hukum-hukum pegadaian, se-perti tidak adanya hak pembeli untuk mengkonsumsi barang dagangan atau memindahkan kepemilikannya kepada orang lain. Barang itu juga tidak bisa dipakai untuk syuf’ah, dan biaya pera-watannya atas penjual di samping pembeli juga harus menjaga komitmen untuk mengembalikan barang itu bila si penjual telah mengembalikan uang pembayarannya.
Jual Beli dan Hukum-hukumnya
Jual beli adalah menukar harta dengan harta. Menurut ter-minologi ilmu fiqih, artinya: Bentuk usaha penukaran terhadap yang bukan fasilitas atau kenikmatan. Asal dari jual beli adalah mubah, kecuali bila ada dalil yang mengharamkannya.
Jual beli diklasifikasikan dalam banyak macam, melalui su-dut pandang yang berbeda-beda.Dilihat dari jenis barang yang dijadikan perjanjian, jual beli terbagi menjadi beberapa macam: Jual beli bebas, yakni menukar barang dengan uang. Money Changer, yakni menukar uang de-ngan uang. Serta barter, yakni menukar barang dengan barang.
Dilihat dari sisi cara penetapan harga, jual beli dibagi menja-di beberapa macam pula: Pertama, jual beli tawar menawar. Yakni jual beli, yang penjualnya tidak memberitahu harga modal ba-rangnya. Kedua, jual beli amanah. Yakni jual beli, yang penjual-nya menyebutkan harga modal barangnya yang dengan cara itu harga bisa ditetapkan. Ketiga, jual beli lelang. Yakni menjual barang kepada yang memberikan harga tertinggi.
Dilihat dari cara pembayaran, jual beli terbagi menjadi bebe-rapa macam pula: Jual beli dengan penyerahan barang langsung dan pembayaran kontan, disebut jual beli kontan. Lalu jual beli dengan pembayaran dan penyerahan barang tertunda, disebut jual beli hutang dengan hutang. Jual beli dengan pembayaran tertunda, disebut jual beli nasi’ah. Serta jual beli dengan penye-rahan barang tertunda, disebut jual beli as-Salm.
Jual beli memiliki beberapa persyaratan yang harus selu-ruhnya dipenuhi agar akad jual belinya menjadi sah. Di antara syarat-syarat tersebut ada yang berkaitan dengan pihak-pihak yang terlibat, yakni kompetensi dalam melakukan aktivitas. Ada yang berkaitan dengan barang yang dijual belikan, yakni mengetahui jenis barang jualan dan mengetahui harganya, serta keberadaan barang tersebut yang harus suci, bermanfaat dan bisa diserah-terimakan, serta merupakan milik si penjual ketika terjadi akad, kemudian tidak ada pembatasan waktu.
Jual beli borongan juga diperbolehkan, yakni jual beli barang yang biasa ditakar, ditimbang atau dihitung secara borongan tanpa ditimbang, ditakar atau dihitung lagi, namun sesuai dengan beberapa syarat yang dijelaskan secara rinci oleh kalangan Mali-kiyah.
Namun menjual komoditi riba fadhal (enam jenis) dengan yang sejenisnya dengan cara borongan tidak diperbolehkan, ka-rena adanya syarat kesamaan ukuran atau takaran dalam barter barang komoditi riba fadhal. Sementara kaidah dalam jual beli komoditi riba fadhal itu adalah: Ketidaktahuan akan kesamaan sama hukumnya dengan mengetahui ketidaksamaan.
Sebab-sebab dilarangnya jual beli ada dua macam: sebab-sebab perjanjiannya dan yang bukan dari perjanjiannya.
Sebab-sebab karena perjanjian di antaranya ada yang ber-kaitan dengan substansi perjanjiannya, seperti tidak terpenuhinya syarat adanya barang yang dijual belikan atau adanya nilai barang tersebut, atau hak kepemilikan penjual terhadap barang itu. Ada juga yang berkaitan dengan komitmen akadnya, karena mengan-dung riba atau manipulasi.
Sementara sebab-sebab yang bukan dari akad jual beli yang dilakukan di antaranya adalah kembali kepada bentuk memper-sulit orang lain, mengganggu atau melakukan penipuan.
Adapun sebab-sebab kerusakan akad jual beli ini ada empat: Diharamkannya barang yang diperjualbelikan, riba, manipulasi dan syarat-syarat yang rusak yang menggiring kepada perbuatan riba, manipulasi atau bahkan kedua-duanya.
Jual Beli yang Diharamkan
Menjual Tanggungan dengan Tanggungan
Tidak dibolehkan menjual tanggungan dengan tanggungan, yakni hutang dengan hutang. Bentuk aplikatifnya ada beberapa macam:
§                      Menjual pembayaran tertunda dengan pembayaran tertunda. Yakni aplikasi dari satu jenis jual beli “Tangguhkan saja pemba-yaran hutangku kepadamu, nanti akan kutambahkan.” Dan ini adalah bentuk riba yang paling jelas.
§                      Menjual pembayaran tertunda dengan barang dagangan tertentu yang juga tertunda penyerahannya. Aplikasinya adalah bahwa seseorang menjual kepada orang yang berhutang kepada-nya sebuah barang tertentu yang belum diserahkan dalam sebuah ikatan perjanjian jual beli. Jual beli semacam ini tidak menjadi masalah, karena mirip dengan kisah Nabi yang membeli unta kepada Jabir, lalu Jabir memberi syarat untuk menyerahkan untanya itu di kota Madinah, dan penyerahan bayarannya juga di kota Madinah.
§                      Menjual pembayaran tertunda dengan barang yang dijelas-kan kriterianya namun juga diserahkan secara tertunda dalam sebuah akad jual beli. Bentuk aplikasinya, bahwa seseorang mem-beri hutang kepada orang lain. Lalu ia membeli barang dari orang yang berhutang kepadanya itu, yang dijelaskan kriterianya namun diserahkan secara tertunda. Apabila orang yang berhutang itu ingin disegerakan pelunasan hutangnya agar bisa menjadi uang muka untuk membeli barangnya, tidak apa-apa. Tetapi kalau tidak, jual beli tidak berlaku karena tidak terpenuhinya syarat didahulukannya pembayaran harga modal.
§                      Menjual barang yang disebutkan kriterianya dan diserahkan tertunda, dengan barang yang juga disebutkan kriterianya dan diserahkan tertunda juga. Kalau dilakukan seperti jual beli as-Salm maka itu tidak disyariatkan, karena tidak terpenuhinya syarat pembayaran di muka harga modal. Namun kalau dalam bentuk istishna’, tidak menjadi masalah, menurut para ulama yang menja-dikan pemesanan itu sebagai bentuk perjanjian jual beli tersendiri.
Jual Beli dengan PersyaratanTidak boleh jual beli dengan syarat. Para ulama berbeda pendapat dalam menjelaskan aplikasi bentuk jual beli ini.Kalangan Malikiyah berpendapat bahwa jual beli bersyarat ini adalah jual beli dengan syarat yang bertentangan dengan konsekuensi akad jual beli. Seperti syarat agar tidak menjual lagi barangnya atau tidak menggunakannya. Atau yang menyebabkan rusaknya harga, seperti syarat peminjaman dari salah satu pihak yang terlibat.Sementara kalangan Hambaliyah memahami jual beli ber-syarat itu sebagai jual beli yang bertentangan dengan akad –telah dicontohkan sebelumnya– dan bertentangan dengan konsekuensi ajaran syariat. Seperti mempersyaratkan adanya bentuk usaha lain, baik itu jual beli lain atau peminjaman, karena ada larangan terhadap dua perjanjian dalam satu transaksi jual beli. Atau persyaratan yang membuat jual beli tergantung, seperti menga-takan: “Saya jual ini kepadamu, kalau si Fulan ridha.”
Sementara kalangan Hanafiyah memahami jual bersyarat sebagai jual beli yang menetapkan syarat yang tidak termasuk dalam konsekuensi perjanjian jual beli, dan tidak relevan dengan perjanjian tersebut namun bermanfaat bagi salah satu pihak yang terlibat. Seperti menjual rumah dengan syarat untuk dibangun masjid di atasnya. Atau bermanfaat bagi objek perjanjian, seperti menjual seorang budak wanita dengan syarat memerdekakannya.
Syarat manfaat yang dinyatakan oleh kalangan Hanafiyah di atas masih harus diteliti lagi, berdasarkan hadits Jabir yang men-jual untanya kepada Nabi lalu memberikan persyaratan untuk memanfaatkannya hingga sampai ke kota Madinah.
Dua Perjanjian dalam Satu Transaksi Jual Beli
Tidak boleh melakukan dua perjanjian dalam satu transaksi jual beli, namun masih diperdebatkan bentuk aplikasinya. Dalam hal ini ada beberapa pendapat:
Jual beli dengan dua harga; harga kontan dengan harga kredit yang lebih mahal. Larangan terhadap jual beli ini masih perlu diselidiki. Bahkan larangan itu tertolak oleh berbagai dalil umum dan juga ketetapan berbagai Majelis Ulama.
Jual beli ‘inah. Yakni menjual sesuatu dengan pembayaran tertunda, lalu membelinya kembali dengan pembayaran kontan yang lebih murah dari harga pertama.
Mensyaratkan Transaksi Lain Dalam Perjanjian Jual Beli
Menjual barang dengan penyerahan tertunda. Bila telah datang waktu penyerahan barang, dijual lagi barang itu secara tertunda pula dengan harga lebih mahal. Dalam kondisi demikian, ia harus mengambil harga terendah, yakni harga pertama.
Menjual dalam Proses Transaksi dengan Orang Lain dan Menawar Barang yang Masih Ditawar Orang Lain
Yakni apabila itu dilakukan sebelum selesainya transaksi se-belumnya dan tanpa izin dari penjual pertama. Dan dalam masa-lah tawar menawar yang dilarang ini, dikecualikan yang terjadi dalam jual beli pelelangan, karena ada nash yang membo-lehkannya.
Orang Kota Menjualkan Barang Orang Dusun’
Orang kota tidak boleh menjualkan barang orang dusun, dalam arti menjadi brokernya/calo, karena dapat membahayakan para penduduk kota dan menyulitkan mereka.
Dilarangnya orang kota menjualkan barang orang dusun ini tentu saja ada syarat-syaratnya: Kebutuhan umumnya masyarakat kepada barang transaksi yang ditawarkan oleh orang dusun tersebut. Ketidaktahuan pedagang dusun itu akan harga barang. Niat pedagang dusun itu untuk menjual barangnya secara lang-sung dengan harga sekarang, meningkatnya harga barang ter-sebut secara bertahap dari harga wajar, dan keberadaan pedagang dusun itu yang mengambil barang untuk dijual, bukan untuk disimpan sendiri.
Menjual Anjing
Tidak boleh menjual anjing berdasarkan hadits-hadits shahih yang melarangnya. Masih diperselisihkan anjing yang diizinkan seperti anjing penjaga kebun atau anjing buru. Kalangan Malikiyah membolehkannya, namun kalangan madzhab lain melarangnya.
Menjual Alat-alat Musik dan Hiburan
Mayoritas ahli fiqih mengharamkan menjual alat-alat musik dan alat-alat hiburan yang diharamkan. Namun bila ada dalil yang memberi keringanan pada jenis alat tertentu seperti rebana, tidak apa-apa.
Jual Beli Saat Adzan Jum’at Berkumandang
Diharamkan jual beli saat adzan Jum’at berkumandang karena ada dalil yang secara tegas melarangnya. Adzan yang dimaksud di sini adalah adzan ketika khatib berada di atas mimbar. Tran-saksi usaha selain jual beli bisa diqiyaskan dengannya menurut mayoritas ulama. Parameter diharamkannya jual beli ini adalah bahwa orang yang melakukan transaksi adalah orang yang wajib shalat Jum’at, hendaknya ia sudah mengetahui larangan itu serta tidak dalam kondisi darurat untuk melakukannya.
Kalau ada dua orang yang tidak wajib shalat Jum’at mela-kukan transaksi saat adzan berkumandang maka ini tidak apa-apa. Namun kalau salah satunya wajib shalat Jum’at, maka kedua-nya berdosa. Yang satu karena telah melakukan perbuatan terla-rang, sementara yang lain karena menolong orang lain berbuat dosa.
Beberapa Jual Beli yang Masih Diperdebatkan
Penjualan Kredit dengan Harga Lebih Mahal
Dibolehkan memberikan tambahan harga pada harga ter-tunda dari harga kontan, menurut pendapat yang paling benar dari dua pendapat para ulama yang ada. Namun jual beli itu hanya sah bila kedua pihak menegaskan mana di antara bentuk penjualan yang dipilih.
Jual Beli ‘Inah
Yakni sejenis jual beli manipulatif agar pinjaman uang diba-yar dengan lebih banyak. Jual beli semacam ini tidak disyariatkan menurut mayoritas ulama demi mencegah terjadinya riba. Namun Imam asy-Syafi’i membolehkannya kalau itu terjadi tanpa dise-pakati sebelumnya.
Jual Beli Wafa
Yakni jual beli dengan syarat pengembalian barang dan pembayaran, ketika si penjual mengembalikan uang bayaran dan si pembeli mengembalikan barang. Jual beli ini tidak dibolehkan menurut pendapat para ulama yang paling benar. Karena tujuan sebenarnya dari jual beli ini adalah riba. Yakni dengan cara mem-berikan uang untuk dibayar secara tertunda, dan fasilitas barang itu dijadikan sebagai keuntungan alias bunganya.
Jual Beli Berpanjar
Yakni membeli barang dengan membayarkan sejumlah uang muka kepada penjual dengan perjanjian bila ia jadi membelinya, uang itu dimasukkan ke dalam harganya. Namun bila tidak jadi, uang itu menjadi milik penjual.
Jual beli semacam ini boleh menurut pendapat para ulama yang paling benar, kalau diberi batasan waktu menunggu secara tegas dan uang itu akan menjadi bagian dari harga bila jual beli telah dilaksanakan, serta menjadi hak penjual kalau si pembeli tidak jadi membeli barangnya.
Jual Beli Istijrar
Yakni mengambil kebutuhan dari penjual sedikit demi sedikit, kemudian baru selang beberapa waktu membayarnya. Jual beli ini tidak apa-apa menurut pendapat ulama yang paling benar. Bahkan bisa jadi akan lebih menyenangkan pembeli dari-pada jual beli dengan tawar menawar.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar